Tuesday, December 18, 2007

Grandparenting: Membantu atau Campur Tangan?

Kompromi dan komunikasi dapat mengimbangi perbedaan pola asuh yang kakek-nenek terapkan kepada si kecil, khususnya dalam penerapan disiplin.

Dewi (27) langsung memasang wajah garang saat melihat putrinya Sakha (4) mengisap permen loli. Maklum saja Sakha baru saja sembuh dari sakit giginya, karena terlalu banyak makan permen. “Di kasih nenek,” begitu katanya enteng, saat Dewi menanyakan asal permen itu. Sakha sebenarnya tahu kalau Bundanya tidak akan senang bila mengetahui ia mengisap permen, karena gigi-giginya sudah banyak yang hitam dan keropos. Tapi ia pun paham, biasanya bunda tidak akan mengomel ketika tahu bahwa permen itu diperoleh dari nenek.

Kasus seperti ini, sebenarnya sangat menjengkelkan Dewi. Toh, ia tidak bisa melarang mertuanya memberikan apa yang Sakha minta. Dewi sengaja memilih tinggal dekat dengan mertua, selain karena ia baru saja menikah, karena mertuanya dapat membantu menjaga Sakha saat ia dan suaminya bekerja. Namun terkadang ia merasa campur tangan mertuanya dalam pengasuhan Sakha, sering melanggar peraturan yang ia dan suaminya terapkan untuk mendispilinkan Sakha.

Hal demikian memang sering terjadi pada pasangan yang masih tinggal bersama orangtua atau mertua, maupun tinggal berdekatan dengan mereka. Orangtua memang dituntut untuk menjadi pengasuh dan pendidik utama anak, namun ketika kakek-nenek harus ikut berperan juga dalam pengasuhan anak, pola asuh yang diterapkan biasanya cenderung permisif. Perbedaan dalam pola asuh orangtua dan kakek-nenek, misalnya dalam hal penerapan disiplin yang bertujuan untuk memandirikan si anak.

Pada dasarnya pola asuh itu sifatnya prinsipil, jadi sebenarnya tidak ada pola asuh yang salah, sebab tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Hanya saja cara mengasuhnya itu yang terkadang salah.

Dalam hal keinginan untuk mendisiplinkan anak, sebetulnya orangtua zaman dulu dan zaman sekarang relatif sama. Namun karena pengalaman hidup yang dialami, kakek-nenek menjadi tidak tega kepada cucunya. Misalnya ketika melihat cucunya seperti tidak mempunyai waktu bermain, karena sibuk les ini dan itu.

Ketika bayi baru lahir, kakek-nenek memang menjadi salah satu sumber bantuan, dukungan, dan dorongan. Mereka selalu tahu apa yang harus dilakukan jika cucunya tidak enak badan, tidak mau makan, tidak bersendawa, menangis, dan sebagainya. Banyak wanita yang bertanya pada ibu atau mertuanya, sebelum ia menanyakan kepada suami mengenai seputar masalah bayi. Namun begitu masuk ke masalah pengasuhan anak, tampaknya pengasuhan yang diterapkan orangtuanya atau mertuanya menjadi salah, sehingga timbul ketidaksetujuan dengan mereka.

Sebetulnya kakek-nenek yang terlalu banyak ikut campur dalam pengasuhan anak tidak akan menjadi masalah jika orangtua sepaham dengan kakek-nenek tentang bagaimana cara mengasuh anak. Namun justru karena berbeda, timbul berbagai masalah, bahkan beberapa pasangan sering bertengkar karena beda paham tentang seberapa jauh orangtua mereka (kakek-nenek) bisa mengasuh anak. Sebagian besar terjadi karena mereka kurang komunikasi mengenai cara mendidik yang ‘baru’ sesuai dengan zaman untuk anak. Biasanya kakek-nenek terlalu memanjakan si anak. Aturan yang sudah diterapkan oleh orangtua kepada anak-anaknya justru dilanggar kakek-neneknya. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan pada beberapa pasangan.

Ketika kakek-nenek ikut campur
Pengasuhan yang dilakukan kakek-nenek (grandparenting), yang bisa juga disebut ‘kesempatan kedua untuk menjadi orangtua’. Sehingga tidak heran banyak kakek-nenek yang ingin terlibat dalam pengasuhan cucu mereka, atau tidak jarang pula mereka melakukan ini untuk ‘menebus dosa’ atas ketidakmampuan yang dulu dialami ketika membesarkan anak mereka sendiri.

Adanya perbedaan pola asuh ini baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kemandirian anak. Misalnya anak akan menjadi kurang mandiri dalam menyelesaikan tugas-tugas hariannya seperti makan, mandi, atau kurang mandiri dalam menyelesaikan masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika nenek tidak mengizinkan si cucu makan sendiri, alasannya anak masih kecil, akan berlepotan, berantakan, dan sebagainya. Padahal orangtua tahu bahwa untuk memandirikan anak, anak harus diberi kesempatan untuk makan sendiri sejak kecil.
Tetapi campur tangan kakek-nenek dalam pengasuhan cucu, hendaknya tak hanya dilihat dari sisi jeleknya saja. Ada juga sisi positifnya. Misalnya kakek-nenek dapat berbagi ilmu dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga anak mendapatkan pengasuhan yang lebih baik seperti pengaturan menu makanan, atau si anak tidak melulu bergaul dengan pengasuhnya. Sisi positif lainnya, biasanya kakek-nenek sering mengajarkan bekal keterampilan kepada si anak. Misalnya menanam pohon, bercerita tentang silsilah keluarga, pengalaman hidup mereka, dan lain sebagainya. Di pihak lain, si anak pun bisa belajar dari segala pengalaman yang sudah dialami oleh kakek-neneknya.

Namun jika sikap memanjakan cucu yang ditunjukkan kakek-nenek ini terus dilakukan akan menyebabkan penerapan disiplin yang sudah diterapkan menjadi tidak konsisten. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan si anak memiliki kecenderungan negatif. Bisa jadi si anak akan membantah perintah orangtua dengan berlindung pada kakek dan neneknya, sehingga memperburuk hubungan orangtua-anak. Selain itu kemampuan anak dalam mengekspresikan emosinya juga terkadang menjadi kurang tepat, misalnya mudah merengek, merajuk, serta kurang percaya diri. Nenek atau kakek biasanya kurang tegas dan kurang dapat menolak permintaan si anak atau cucunya. Kalau mereka terlalu memanjakan si anak maka pola asuh yang sudah ada akan membuat si anak bingung. Oleh karena itu orangtua seharusnya memiliki keberanian untuk berbicara dengan kakek-nenek (orangtua atau mertua) mengenai permasalahan pola asuh yang tepat.

Kompromi dan komunikasi
Tidak ada yang lebih baik antara tinggal berdekatan orangtua atau tinggal berjauhan, semuanya ada sisi negatif dan positifnya. Jika pasangan tinggal berjauhan campur tangan kakek-nenek terhadap pola asuh anak memang tidak sedemikian intens. Namun akan sulit melarangnya, jika mereka tinggal berdekatan atau bahkan serumah dengan orangtua atau mertua.

Kultur di Indonesia, kakek-nenek tidak tega kalau cucunya dilarang ini-itu. Sementara orangtua ingin menegakkan disiplin. Perbedaan semacam ini hendaknya dapat dikompromikan melalui diskusi antara anak dengan orangtua, yang kini sudah sama-sama menjadi orangtua. Dengan demikian, tidak akan ada lagi anggapan bahwa yangtua lebih berpengalaman dan pandai dalam hal mengasuh anak.

Jika kakek-nenek terlalu jauh mengintervensi si cucu karena mereka sering tidak diberi peran yang jelas dalam mengasuh anak-anak. Oleh karena itu pada saat membahas mengenai pola asuh anak, sebaiknya kakek-nenek juga diajak berembug dan berdiskusi serta dilakukan kesepakatan yang baik antara mereka. Misalnya kakek atau nenek bertugas untuk mengajarkan hal-hal yang religius, mengantar jemput sekolah, mengawasi makan, tetapi untuk urusan mengerjakan PR tidak boleh turut campur. Dengan begitu mereka merasa dilibatkan dalam mengasuh cucunya.

Pertama-tama perlu diberikan pengertian mengenai tahapan perkembangan anak kepada mereka. Sebagai pasangan yang sudah mempunyai pola asuh untuk anak-anaknya, mereka perlu diingatkan kembali akan tahap perkembangan anak sesuai usianya. Hal ini penting agar kakek-nenek juga mengerti apa yang harus mereka lakukan. Hal-hal yang dapat dikompromikan misalnya penerapan disiplin yang bertujuan untuk melatih kemandirian. Kakek-nenek dalam hal ini bertugas untuk mengawasi saja.

Namun dari beberapa hal yang dikomunikasikan dan dikompromikan, si anak juga perlu diajak berdialog dan berdiskusi. Biasanya mereka yang berusia SD sudah dapat diajak bicara. Misalnya gambarkan risiko yang akan ia dapatkan ketika ia tidak mengerjakan PR dan terus bermain. Bagi mereka yang masih kecil (balita), orangtua dapat memberikan contoh misalnya ajak anak untuk makan bersama di meja makan dalam suasana yang lebih menyenangkan. Beri penghargaan positif bila anak dapat melakukannya walaupun masih belum sempurna.

Anda sebagai orangtua juga harus mampu mengajarkan hubungan interaktif kepada kakek-nenek mereka. Berikan waktu kepada mereka untuk bersama-sama dengan kakek-nenek, juga Anda. Dengan begitu kakek-nenek selalu merasa dilibatkan dalam mengasuh cucunya.

Meskipun begitu, orangtua masa kini harus mempersiapkan mental untuk menghadapi hubungan kakek-nenek dengan cucu yang mungkin akan berbeda di masa depan. Seiring berubahnya waktu, kehangatan dan keintiman yang ditunjukkan anak-anaknya sekarang kepada kakek dan nenek barangkali tidak akan mereka alami dengan cucunya kelak.

Yang terakhir,ingatlah, bagaimanapun juga orangtua Anda yang telah berjasa membesarkan Anda, begitu pula mertua yang telah membesarkan pasangan Anda. Kalaupun dulu mereka melakukan kesalahan, biarkan mereka menebusnya sekarang dengan berbuat baik terhadap anak Anda. Perbedaan? Selama Anda dan mereka mempunyai tujuan untuk mencintai si kecil, mengapa tidak?

Tips berbagi pola asuh kepada kakek-nenek tanpa menimbulkan perselisihan:
1.Pertama-tama ajak kakek-nenek berdiskusi mengenai pola asuh yang akan diterapkan dan tujuan pendidikan anak,
misalnya kemandirian bagi si anak.
2.Setiap pasangan harus siap menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, untuk itu harus ada pengorbanan dan keberanian
berbicara kepada orangtua atau mertua. Tentu saja cara penyampaian pola asuh ini harus dengan baik-baik dan rendah
hati. Gunakan kata ‘mohon pertolongan’, karena secara pikologis maknanya kuat sekali.
3.Berikan paparan aturan dasar yang akan diterapkan pada seluruh anggota keluarga. Misalnya larangan menonton televisi
selepas Magrib. Aturan tersebut harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga termasuk kakek-nenek.
4.Hindari membentak atau mendebat kakek-nenek. Kalaupun ada perselisihan, hendaknya dibicarakan tidak di dekat anak,
karena anak merupakan pengamat yang sangat baik.
5.Untuk menghindari biang-biang perselisihan, sebaiknya membiasakan pertemuan yang teratur, sekedar menjaga
keakraban. Misalnya makan malam bersama keluar.
6.Setiap pasangan hendaknya menyadari bahwa kakek-nenek adalah orang yang paling peduli pada cucunya, seperti
menceritakan kisah-kisah masa lalu, menanamkan kebanggaan keluarga, dan meningkatkan pengetahuan anak tentang
kebudayaan.
7.Dalam menghadapi kakek-nenek, hendaknya menyadari bahwa mereka adalah model bagi sang anak. Oleh karena itu bila
ingin perlakuan yang baik dari anak-anak di masa tua, hendaknya memberikan mereka contoh yang baik.
8.Walapun ada perbedaan cara pengasuhan, tetap berikan waktu kepada kakek-nenek untuk mengasuh cucu-cucunya. Hal
ini bukan saja hanya memberikan kebahagian bagi mereka yang sudah memasuki usia senja, namun juga bermanfaat bagi
anak-anak.

Saturday, November 24, 2007

Dua hari di pulau


Bingung mau mulai dari mana. Gambar ini diambil teman saya saat mau turun snorkeling (sedikit narcis sih :)).
Minggu pertama november lalu, saya dapat tugas meliput di Pulau Umang yang letaknya di Kecamatan Sumur-Pandeglang. Lebih tepatnya, saya ditugaskan me-review tempat itu untuk masuk rubrik weekend majalah tempat saya bekerja. Tapi ada untungnya juga, selain karena tugas, itung-itung saya juga sedikit refreshing dari hiruk pikuk ibu kota.

Kurang lebih lima jam perjalanan dengan menggunakan carry tua, saya bersama dua kru lainnya berangkat kesana. Saya bertugas sebagai petunjuk arah, mas Embang menjabat sebagai supir sekaligus fotografer, dan Mita beanr-benar sebagai penumpang :). Awalnya sempat BETE, karena petunjuk jalan yang ada terkesan bikin penasaran. Sebentar-bentar tertulis "Pulau Umang 60 menit lagi" lalu beberapa kilo meter kemudian "Pulau Umang 25 menit lagi", dan seterusnya. Kalau dilihat waktunya lebih dari 60 menit untuk mencapai olang selanjutnya. "Kok tidak sampai-sampai ya, jangan-jangan plang itu untuk itungan ornag yang pakai BMW," seru Mita, dari tadi dia memang terlihat bosan.

Kira-kira pukul setengah lima sore kita sampai di Kecamatan Sumur. Disambut oleh petugas dan langsung membawa kita ke seberang pulau. Busyeettt...benar-benar indah sekali! Laut biru yang membentang, serta tanjung yang menjorok ke laut. Pulau Umang berada tepat ditengah-tengah tanjung dan Ujung Kulon.

Salah satu pulau yang berdekatan dengan Pulau Umang adalah Pulau Oar. Pulaunya benar-benar masih 'Virgin'. Pasir berwarna putih lagi lembut, banyak pelancong yang datang kesana menggunakan pasir itu untuk crub. diantara itu yang paling indah adalah terumbu karangnya yang masih juga 'virgin', beragam ikan masih hidup disana. Itu saya ketahui ketika mencoba snorkeling setengah jam lebih. Pemandangan di dasar laut memang dasyat.

Gambar ini diambil ketika sunset. Benar-benar ciptaan Tuhan yang maha dasyat. Matahari seolah-olah merangkul gunung :)

Kalau yang ini, diambil saat kita berada di atas speed boat menuju Pulau Umang. Bisa dibayangkan kalau berada di tengah-tengah laut ini? Dari pulau ini juga dapat dilihat pemandangan yang tidak kalah hebatnya, yakni anak gunung Krakatau. Jaraknya kira-kira 43 kilo dari Pulau Umang, jadi tidak terlalu jauh. Sebetulnya ketika itu kami kesana sempat juga merasa deg-degan, karena kabar di televisi status Anak Gunung Krakatau sudah Siaga 3. Tapi alhamdulillah saya kembali dengan selamat, tidak ada yang sakit dan tugas meliput pun selesai dengan baik. Sepulang dari sana, terpikir untuk mengajak kawan berlibur kesana, cuma sayang biayanya mahal sekali untuk hitungan anak kost seperti saya :). Maybe next time kali ya..
piss... :)

Thursday, September 13, 2007

Ketika Anak Tak Kunjung Hadir

Sebagian besar pasangan menikah pasti mendambakan untuk memiliki anak. Banyak yang berhasil mewujudkan keinginan tersebut, namun ada juga sebagian pasangan yang tidak dapat mewujudkannya.

Anak merupakan pelengkap kebahagiaan bagi pasangan menikah. Saat berkumpul dalam acara keluarga, hal utama yang menjadi pertanyaan pastilah “kapan rencana punya momongan?” ”Sudah ‘isi’ belum?” dan lain-lain. Mungkin hal itu tidak menjadi persoalan bagi pasangan yang baru saja menikah, namun pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut bisa menjadi persoalan yang besar bagi mereka yang sudah lama menikah. Bahkan bagi yang mudah tersinggung, hal itu bisa menimbulkan amarah.

Pernikahan adalah pengukuhan hubungan dua individu, laki-laki dan perempuan dalam sebuah lembaga perkawinan yang sah. Salah satu tujuan umumnya adalah mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Hampir sebagian besar pasangan menginginkan buah hati. Buah hati di sini bukan saja sebagai penerus generasi dan perekat perkawinan tetapi juga sebagai langkah selanjutnya bagi pria dan wanita dalam mengisi tugas perkembangannya sebagai ayah dan ibu. Dengan berubahnya peran, individu akan mulai belajar bagaimana harus berperilaku.

Meski sebagian tujuan pernikahan adalah segera memiliki momongan, namun tidak sedikit pasangan yang sengaja menundanya. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa pasangan menikah menunda untuk memiliki momongan. Pertama, ketidaksiapan secara materi. Dalam hal ini, pasangan memiliki ketakutan bahwa pendapatan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan si buah hati. Kedua, ketidaksiapan secara psikologis. Alasan ini muncul karena adanya ketakutan tidak bisa menjadi ayah atau ibu yang baik. Ketiga, pasangan mendahulukan kepentingan lain. Misalnya, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, dan masih banyak alasan lainnya seperti salah satu pasangan sedang melakukan terapi pengobatan atau lainnya.
Sementara alasan sebuah pasangan menunda kehadiran buah hati seringkali didasarkan pada motivasi pada saat awal menikah. Misalnya, pasangan yang menikah karena ingin mempunyai keturunan, sehingga sang istri menjadi “mesin produksi anak”.

Namun ada juga pasangan yang menikah lebih karena ingin mempunyai teman. Selain itu, ada juga pasangan yang menunda kehadiran buah hati karena ingin mengenal lebih dalam pribadi pasangannya. Biasanya mereka menikah karena dijodohkan. Bahkan, untuk alasan yang terakhir, ada pasangan yang bersama lebih dari 10 tahun namun tidak pernah berhubungan. Pasangan tersebut tetap mempertahankan perkawinan, setia, dan akhirnya hubungan mereka menjadi seperti kakak beradik.

Penantian akan lahirnya buah hati bisa menjadi masalah di dalam rumah tangga. Terutama bila keduanya tidak bisa menerima keadaan dan salah satu pihak menimpakan kesalahan pada pasangannya. Biasanya dalam hal ini istri yang menjadi korban, padahal suatu pasangan tidak dikarunia anak bukan melulu dikarenakan masalah infertilitas tetapi juga masalah psikologi.

Ada yang depresi namun banyak juga dari mereka yang tidak juga dikarunia anak menerimanya dengan pasrah dan berpikir positif. Namun hal itu kembali lagi pada konsep pernikahan mereka, ada yang ingin cepat dapat momongan tetapi ada juga yang ingin menunda dengan berbagai alasan.

Timbul Masalah

Bila pasangan menikah setelah bertahun-tahun tidak dikaruniai anak, meskipun orang sekitar tidak berucap tapi secara tidak langsung sering mempertanyakan apa yang terjadi hingga pasangan itu tidak dikaruniai anak. Bahkan tak jarang hal itu menjadi perguncingan, seperti bagaimana masa tuanya bila tidak ada anak sampai urusan adopsi.

Jika diawal menikah konsep yang dipegang adalah memiliki momongan maka ketidakhadiran si buah hati ditengah-tengah keluarga tentu menjadi permasalahan yang besar. Belum lagi lingkungan sekitar yang mencap Anda atau pasangan Anda dengan ungkapan ‘mandul‘, tentunya hal itu sangat tidak nyaman. Dalam banyak kasus memang istri merasa lebih tertekan ketika setelah beberapa tahun mereka belum diberi keturunan karena dalam lingkungan atau masyarakat terbiasa mempersepsikan bahwa kesalahan ada dipihak istri. Bahkan ketika diketahui istri mempunyai masalah fertilitas, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak suami yang menginginkan untuk berpoligami atau bahkan ada juga istri yang merelakan suaminya untuk berpoligami. Tapi hal itu sangat kecil kemungkinannnya, karena pada dasarnya tidak ada seorang istri pun yang rela suaminya menikah lagi atau pun diduakan.

Ketidakhadiran buah hati ini bisa menimbulkan masalah ketika keduanya atau masing-masing pasangan tidak membuka pikiran untuk menerima keadaan dan mudah terpengaruh pada lingkungan sekitar. Ada yang tidak peduli namun ada juga sebagian pasangan lainnya yang terganggu dengan ketidadaan anak ini. Biasanya hal tersebut dikarenakan tidak adanya komunikasi dua arah di antara mereka.

Butuh Kedewasaan

Tidak semua pasangan mempermasalahkan belum adanya si buah hati ditengah-tengah mereka, meskipun bila dipersentasikan golongan seperti ini sangatlah kecil. Namun bagi pasangan yang belum memperoleh keturunan, dibutuhkan kedewasaan yang amat besar dari masing-masing pasangan, karena ketidakmampuan memliki keturunan bukan semata-mata kesalahan pasangannya (misalnya istri), apapun kondisinya sebaiknya setiap pasangan harus saling mendukung dan mencari sulusinya. Duduk bersama dan memikirkan bagaimana yang terbaik untuk keluarga harus dibicarakan diantara keduanya tanpa ada orang ketiga (orangtua, mertua, kakak, atau lainnya).

Oleh karena itu sebelum menikah setiap pasangan harus benar-benar mengenal pasangannya, mulai dari sifat baik dan jeleknya, kebiasaan-kebiasaan positif dan buruknya, cara dia mengambil keputusan sampai pola keluarga dari masing-masing pasangan. Hal tersebut perlu diketahui agar suatu saat kita tidak mempunyai pikiran menyesal dan saat timbul masalah maka hal-hal positif darinya lah yang perlu kita lihat. Karena setiap pasangan menikah harus berpikir untuk saling melengkapi bukan hanya memikirkan masalah anak yang tidak hadir.

Mereka yang mempunyai kedewasaan berpikir akan melihat bahwa anak hanyalah titipan Tuhan dan bukan milik kita sepenuhnya. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing dan tidak ada yang sempurna. Oleh karenanya ketika dalam berumah tangga anak tidak juga hadir jangan pernah berpikiran negatif terhadap pasangan kita, tetap yakinkan dalam hati kalau ia adalah jodoh kita.

Mencari Solusi

Mereka yang mengharapkan buah hati hadir ditengah-tengah keluarga sebaiknya tidak saling menyalahkan dan menuduh siapa yang kurang sehat, namun yang perlu dilakukan adalah duduk bersama dan membicarakan solusi yang tepat, apakah mereka sependapat untuk mengadopsi anak, bayi tabung, atau sepakat untuk tidak sama sekali melakukan keduanya.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan maka hal utama yang harus dilakukan adalah berpikir secara matang, jangan terburu-buru, sehingga salah satu dari mereka tidak sreg. Misalnya mengadopsi anak. Jangan sampai hanya diinginkan oleh satu dari mereka saja, karena bila hal itu terjadi maka yang kasihan adalah si anak itu sendiri yang tidak mendapat limpahan kasih sayang dan perawatan secara optimal.

Tidak jarang mereka yang mengadopsi anak membuat kondisi pasangan menjadi rileks. Kondisi santai dan bergembira adanya anggota baru dalam keluarga biasanya memberikan kondisi psikologis mereka juga menjadi lebih sehat. Namun mengadopsi anak adalah bukan satu-satunya pilihan bagi pasangan yang tidak mendapat keturunan. Semua itu tergantung pada keputusan.

Jika ketidakhadiran anak ini disebabkan oleh gangguan medis maka hal itu bisa disembuhkan dengan bantuan medis pula. Namun jangan mengadopsi anak bila hanya untuk memancing agar punya anak. Karena hal itu akan membuat si anak menjadi terlantar. Sebaiknya sebelum pasangan memutuskan untuk mengadopsi anak, tanyakan kembali pada diri masing-masing apakah betul dibutuhkan seseorang untuk hadir ditengah-tengah mereka? Karena banyak juga pasangan yang tidak menginginkan anak ditengah-tengah hubungan mereka, apalagi melihat biaya pendidikan yang mahal.

Jadi setiap keputusan untuk mengatasi masalah ini (ketidakhadiran anak, red) sebaiknya dipikirkan sangat matang. Ada pasangan yang berpikir kalau untuk membagikan kasih sayang tidak perlu kepada anak kandung saja tetapi juga kepada keponakan atau anak-anak dilingkungan sekitarnya.

Satu hal yang terpenting adalah belum adanya kehadiran buah hati sebaiknya tidak mengurang kadar kemesraan suami istri. Mereka bisa menjalankan aktifitas sehari-hari seperti biasanya dengan saling memberi motiavsi. Ekspresi kesedihan karena lama tidak mendapatkan anak, biasanya lebih terlihat pada istri. Suami, seharusnya mau mendengarkan setiap keluhan istri dan menghibur sang istri dalam mengisi hari-harinya agar tetap menyenangkan. Jangan menjadikan ketidakhadiran anak sebagai masalah besar dalam keluarga. Hal terpenting adalah bagaimana agar pasangan menjadikan kehidupan ini tetap bermakna tanpa mengurangi kadar sayang mereka masing-masing dan kasih sayang bisa diberikan kepada siapapun.

Tips bagi pasangan menikah:
1.Jangan terlalu cepat mengambil judgement terhadap salah satu pasangan yang kurang
sehat
2.Secara sadar, mereka berdua memeriksakan diri ke dokter guna penanganan yang lebih
baik
3.Saling mendukung bila memang salah satu ternyata dinyatakan kurang sehat.
4.Mencoba santai dan tidak terus menerus fokus pada masalah yang dialami agar tidak
membuang-buang energi.
5.Belajar untuk menjalin komunikasi yang tepat dengan pasangan, belajar mendengarkan
dan tidak egois.
6.Mengambil hikmah dan berpikir positif atas situasi yang dialami, serta mengingat
hal-hal yang positif pasangan kita serta tidak menggali hal-hal negatif pasangan
kita.
7.Tidak membandingkan pasangan kita dengan orang lain, tapi bandingkanlah pasangan
kita dengan dirinya sendiri.
8.Sering memuji pasangan dan belajar saling percaya serta tidak lupa untuk
mengucapkan terimakasih kepada pasangan kita.
9.Memvariasi hubungan, misalnya pergi ketempat-tempat Anda berpacaran dulu, agar
tetap romantis.
10.Jangan ada orang ketiga di dalam rumah tangga. Misalnya orangtua, keponakan atau
yang lainnya. Agar ketika terjadi konflik dengan pasangan, Anda berdua dapat
dengan cepat menyesuaikan diri. Bahkan sebaiknya pembantu pun tidak perlu ada.
Dengan membersihkan dan memasak berdua, Anda bisa membuat suasana romantis.

Monday, September 10, 2007

Berbagi Peran, Berbagi Beban

Pada sebagian kalangan masyarakat, berlaku anggapan bahwa istri bertugas melahirkan anak dan suami bertugas mencari nafkah. Namun bagaimanakah dengan keluarga yang belum memiliki anak, atau istri yang tidak dapat mempunyai anak, apakah ia tidak patut untuk dinafkahi? Lalu dimanakah peran suami?

Sebelum memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan, banyak orang yang cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Namun kondisi tersebut akan sulit dipertahankan ketika mereka mulai membangun rumah tangga. Ego masing-masing mau tidak mau harus berkurang, beberapa hal bahkan terpaksa dihilangkan. Setelah menikah, tenggang rasa dan sikap saling bantu amat dituntut pada setiap pasangan. Baik bagi mereka yang baru mendirikan rumah tangga, atau yang sudah lama menjalani kehidupan bersama.

Hubungan suami istri yang harmonis akan menjadi dasar pertumbuhan sebuah keluarga. Oleh karena itu sebaiknya sebelum menikah, konsep hubungan suami istri sudah dibicarakan dan disetujui bersama demi kepentingan bersama pula. Tak jarang kompromi untuk menyiasati perbedaan suami istri berupa pembagian peran dan tangggung jawab yang kaku. Namun peran yang kaku mengenai tugas dan peran istri dan suami, dapat membawa implikasi psikologi dan sosial yang sangat kompleks. Ketika role expectation dari masing-masing pihak tak terpenuhi, kondisi tersebut berpotensi menjadi pemicu masalah.

Pembagian peran antara suami istri semuanya berbalik pada perjanjian awal saat mereka menikah. Namun perlu ditekankan bahwa tugas utama untuk menghidupi keluarga ada pada suami. Istri bisa saja mengemban tugas itu, tetapi hal itu karena sesuatu hal yang di luar dugaan. Misalnya suami sudah tidak bisa bekerja atau karena masalah lainnya. Tapi meskipun istri bekerja, perlu disadari bahwa tugasnya hanyalah sebagai penopang atau penambah. Jadi kalau penghasilan istri lebih besar dari suami, si istri tidak boleh sombong karena manusia juga mempunyai mutual-respect. Bila suami sensitif tentu ia akan merasa minder.

Suami, mempunyai tugas untuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga, karena ia berperan sebagai kepala keluarga. Namun selain bertugas mengayomi, melindungi, dan berlaku lebih bijak terhadap istri dan anak-anaknya, suami juga dapat menjalankan pekerjaan yang biasa istri lakukan, yaitu mengurus pekerjaan rumah tangga. Begitu pula istri, selain bertanggungjawab terhadap pekerjaan rumah tangga ia juga berperan untuk selalu mendukung dan menolong suami ketika ia mengalami kesulitan, misalnya dalam mengambil keputusan. Istri dapat menjadi orang yang paling berpengaruh dalam setiap keputusan yang diambil suami.

Mengenai pembagian peran suami istri ini hubungan suami istri yang ideal berupa hubungan “partnership”. Hubungan kemitraan ini menurutnya paling ideal dalam era perubahan yang terjadi dewasa ini, dan berbagai tuntutan yang muncul. Namun penerapan hubungan tersebut juga harus secara fleksibel. Meski suami sebagai kepala keluarga merupakan final decision maker, bukan berarti ia tidak bisa menerapkan hubungan yang bersifat partnership. Setiap keputusan yang diambil harus demi kepentingan keluarga. Hubungan partnership akan lebih banyak berperan pada pembagian tugas dalam keluarga, seperti mendidik dan membimbing anak, mendelegasikan pekerjaan rumah tangga ke pembantu, dan lain-lain.

Apalagi bagi pasangan yang sama-sama bekerja. Selain menerapkan konsep hubungan kemitraan, seorang istri yang bekerja juga harus memiliki konsep manajemen rumah tangga yang baik. Dengan demikian kepentingan-kepentingan rumah tangga tidak boleh terabaikan, karena perhatian dan energi sang istri lebih didominasi oleh pekerjaan.

Tanggung Jawab

“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Menghadapi tuntutan hidup yang semakin besar saat ini, suami istri dituntut untuk melakukan tugas bersama-sama, apalagi bila keduanya bekerja. Suami tidak bisa sepenuhnya mengharapkan istri adalah orang yang satu-satunya bertanggungjawab terhadap anak. Namun pekerjaan apa yang harus dikerjakan, semua itu tergantung dari kesukaan dan minat masing-masing?

Misalnya ada suami yang tidak suka beres-beres tapi dia suka masak, maka saat libur dia bisa memasak dan istri yang beres-beres rumah. Begitu juga pada saat pembantu tidak ada. Suami istri sebaiknya menyadari bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama. Tanpa kesadaran tersebut, maka kedamaian di dalam rumah bisa sering terganggu. Bukan alasan lagi bagi suami istri untuk tidak saling membantu dalam urusan rumah tangga.
Jika salah satu dari pasangan tidak dapat menjalankan tugasnya (misalnya, mengecek PR anak) karena tuntutan pekerjaan, maka pasangan lainnya dapat menggantikan. Saling menggantikan tugas mendidik anak ini, merupakan bentuk tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, komunikasi antara suami dan istri menjadi sangat penting. Hal ini sangat mudah dilakukan mengingat ketersediaan fasilitas dan teknologi komunikasi yang kian maju.

Salah satu syarat dalam rumah tangga adalah mengembangkan relasi terbuka. Artinya keduanya harus membiasakan diri mengungkapkan apapun yang dirasakan dan diinginkan tanpa khawatir salah satu pihak merasa sakit hati. Saling menghargai bisa terwujud kalau komunikasi antar pasangan berjalan baik dan efektif. Istri menceritakan apa pun yang dilakukannya, suami juga melakukan hal yang sama. Komunikasi yang lancar biasanya membuat suami istri merasa saling membutuhkan.

Saat ini sudah tidak lagi berlaku pembagian tugas rumah tangga secara gender. Sudah bukan hal aneh lagi, bila suami melakukan sejumlah tugas rumah tangga seperti membeli makanan dan belanja ke supermarket. Demikian pula dalam hal mendidik anak. Mendidik anak harus dilakukan berdua, karena anak harus mendapat figure ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai pendampingnya. Sehingga peran suami istri lebih pada ‘spirit’, bahwa seorang Ibu lebih sebagai ‘direktur operasional’ di dalam keluarga, sedangkan Ayah sebagai ‘presiden direktur’ yang membawa seluruh keluarga kepada tujuan yang hendak dicapai dan sebagai pemegang keputusan final.

Selain tanggung jawab, hal utama yang perlu diterapkan oleh pasangan adalah komunikasi dan toleransi. Karena terkadang suami kurang mempunyai sifat sensitif, maka jika istri merasa tidak nyaman dengan beban pekerjaan rumah tangga yang diembannya, maka ia harus membicarakannya kepada suami.

Sebaliknya seorang istri yang ingin ”menegur” suami haruslah memilih waktu dan masa yang tepat, seperti ketika hendak tidur atau waktu istirahat pada petang hari. Pada saat-saat itulah suami biasanya berpikiran tenang dan terbuka. Istri juga perlu bersikap toleran dan menghargai keadaan suami. Bila suami tiba-tiba tidak bisa melakukan tugasnya, maka istrilah yang harus menggantikannya.

Dengan adanya pengaturan tugas masing-masing pasangan, maka tak sepantasnya lagi suami mengharapkan istri menjadi satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkaitan dengan anak. Mulai dari perhatian, pengajaran, makanan, hiburan, sampai dengan kebersihan rumah. Dengan menerapkan sikap toleransi di dalam rumah tangga maka permasalahan akibat saling menggantungkan terhadap pasangan tidak mungkin terjadi.

Misalnya, ketika sang istri harus menghadiri sebuah rapat penting sementara anak sendirian di rumah dan pembantu pulang kampung. Bila suami tidak memiliki pekerjaan yang mendesak, maka ia berkewajiban menggantikan tugas istri yakni menjaga si kecil bahkan mungkin termasuk memasak untuk anak. Bila suami sudah bersedia menolong istri, ucapan terima kasih perlu sentiasa diucapkan supaya si suami merasa dirinya dihargai.
Kerja Sama Antar Anggota

Pada dasarnya pembantu rumah tangga bukan pekerja yang bisa mengerjakan seluruh tugas rumah tangga. Sesuai sebutannya, ia hanya berfungsi sebagai “helper”, bukan pengganti fungsi orangtua bagi anak. Jangan sampai pembantu menjadi pemisah hubungan orang tua dan anak. Hal ini perlu ditanamkan kepada anak-anak, agar hubungan emosional tetap terjalin kepada orangtua sejak anak-anak masih kecil. Begitu juga dengan pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, sebaiknya tetap harus memprioritaskan komunikasi kepada anak. Berusaha semaksimal mungkin agar mereka dapat menjadi panutan anak-anak, sehingga anak-anak tidak mencari panutan di tempat lain.

Pembagian tugas di dalam rumah tangga tidak melulu dilakukan oleh suami istri. Mereka yang mempunyai anak cukup besar bisa melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah, namun cukup yang ringan-ringan saja. Anak-anak dapat diberi pengertian bahwa semua orang yang ada di dalam rumah dapat berperan, misalnya merapikan bekas mainannya atau tempat tidurnya.

Anak-anak perlu diberi batasan tugas dan tanggung jawab yang besar kecilnya disesuaikan dengan kematangan usianya. Dalam proses perkembangan anak, memberi contoh adalah cara yang paling efektif untuk mengharapkan anak melakukan sesuatu. Misalnya menerapkan konsep hidup sehat. Di sini orang tua dapat memberi contoh bagaimana mengatur keseimbangan hidup melalui makan yang sehat, cara hidup yang sehat, olah raga teratur, berpikir yang positif dan optimis, mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan untuk menghasilkan sesuatu yang besar, dan lain-lain. Tugas dan tanggung jawab kepada anak harus selalu diingatkan agar nilai tersebut dapat diinternalisasi pada masing-masing individu anak.
Melepas Ketergantungan Pembantu

Ada sebagian pasangan menikah ‘kelimpungan’ saat pembantu dirumah pulang kampung atau mendadak ijin karena sakit. Tiba-tiba saja rumah Anda menjadi ”porak poranda” karena tidak terurus. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika anggota keluarga sudah terbiasa berbagai tugas melakukan pekerjaan rumah.

Rosdiana menambahkan bahwa pemilik rumah dengan pembantu memiliki hubungan mutualisme, dimana pembantu mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan si pemilik mendapatkan hasilnya. Namun keadaan ini tidak terlalu baik jika sepenuhnya pekerjaan diserahkan kepada pembantu. Jika memang pembantu perlu ada didalam rumah, maka ia hanya cukup melakukan pekerjaan rumah saja, sedangkan pekerjaan mengasuh anak tetap dilakukan oleh suami istri. Sebagai orangtua, kita tetap mempunyai tugas untuk mengurus anak. Belanja bulanan, mengatur menu, pekerjaan sekolah (PR) anak-anak, dan lain-lain juga dapat dilakukan oleh orangtua. Hal itulah yang bisa dibagi dengan anggota keluarga lainnya.

Begitu pula ketika menghadapi Hari Raya. Pembantu yang mudik atau pulang kampung tidak perlu meresahkan atau malah menjadi beban yang amat berat bagi pasangan menikah. Hal ini justru menjadi ajang bagi suami istri untuk menjalin hubungan menjadi lebih erat lagi. Misalnya mencuci mobil bersama-sama, memasak bersama, membereskan rumah dan lain sebagainya. Dengan membagi tugas antara pasangan, pekerjaan apa saja yang harus dilakukannya justru akan menambah keharmonisan di dalam keluarga.

Tips bagi pasangan dalam berbagi tugas
1.Kompromi dengan melakukan komunikasi terbuka dengan pasangan, pekerjaan dan tugas
rumah tangga apa yang harus dilakukan masing-masing.
2.Dalam membagi tugas atau pekerjaan tersebut, sebaiknya disesuaikan dengan minat dan
kesukaan pasangan masing-masing.
3.Jangan memaksakan pasangan kita untuk melakukan pekerjaan yang tidak disukainya.
4.Jangan menganggap pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang amat berat.
5.Kurangi standar hasil pekerjaan. Misalnya ketika ada pembantu lantai bersih
kinclong, maka bila pembantu tidak ada bersih saja pun cukuplah. Menu masakan yang
biasanya lima macam dalam satu hari jika dimasak pembantu, ketika harus masak
sendiri bisa dikurangi menjadi tiga macam menu saja.
6.Selain suami, libatkan juga anak-anak agar keharmonisan dalam keluarga bisa lebih
terjalin.
7.Jangan terlalu mengharapkan hasil yang sempurna dengan hasil pekerjaan yang
dilakukan oleh suami. Bagaimanapun juga diperlukan proses dalam melakukan semuanya
itu.
8.Jika suami enggan membantu menguruskan rumah tangga, isteri haruslah bijak untuk
memainkan peranan dengan menegur sikap suami dengan cara baik dan lembut. Pilih
waktu dan saat yang tepat.
9.Ucapkan terima kasih kepada pasangan Anda seusai ia melakukan tugasnya. Agar ia
merasa dihargai.
10.Kesetaraan dalam melakukan tugas rumah tangga bisa berhasil apabila pasangan
saling menghargai. Misalnya, suami bangga dan mendukung karier istri di luar
rumah. Sebaliknya, istri pun menghargai keterlibatan suami dalam mengelola tugas
rumah tangga.

Monday, August 20, 2007

Jika Pasangan Tetap Memilih Bertahan........

Sikap bertahan dalam konflik bagi sebagian suami istri justru dapat membawa kebaikan bagi hubungan. Adakalanya konflik jadi bumbu dan perekat perkawinan serta menambah wawasan saling memahami perasaan, pikiran dan keinginan pasangan.

Saat berikrar menjadi suami istri dan sanggup mengarungi setiap badai yang menerpa hingga akhir hayat, tak satu pasangan yang berniat untuk kemudian berpisah atau bercerai. Namun, dalam menjalani perkawinan konflik yang muncul seringkali tak tertahankan. Banyak kisah perceraian yang terjadi. Tapi, banyak pula yang tetap bertahan dengan segala alasan. Padahal tak jarang di antara mereka sudah tak memiliki ikatan emosional lagi walau tetap hidup serumah. Mungkinkan pasangan sanggup terus bertahan dan hidup rukun seperti sebelumnya? Bagaimana pengaruhnya bagi tumbuh kembang anak yang ada?

Biasanya, pasangan suami istri yang memilih untuk tetap bertahan dikarenakan beberapa faktor. Pertama faktor financial, yang jika mereka berpisah maka kondisi ekonomi yang akan dimiliki nanti tidak sebaik saat bersama. Kedua, mempertahankan nama baik. Bila bercerai, maka kredibilitas mereka menjadi jelek di mata keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Karena, misalnya, tak ada di riwayat keluarga yang melakukan penceraian.
Ketiga, status. Sebagian besar pihak yang bertahan adalah wanita karena tak mau menyandang status janda. Keempat, keberadaan anak. Sebagian besar pasangan memutuskan tetap bertahan karena faktor anak. Mereka ingin membesarkan anak-anak bersama dan biasanya ketika anak-anak sudah besar mereka akan bercerai. Kelima keyakinan. Ada beberapa agama yang melarang penceraian, perpisahan yang karena maut. Meskipun dalam kondisi masih berkonflik seharusnya pasangan yang bertahan itu terus mencari solusi mengatasi konflik itu sendiri.

Memang tidak enak rasanya tinggal satu atap tapi hati sebenarnya sudah tidak menyatu, terlebih lagi bagi pihak yang memutuskan untuk tetap bertahan tadi. Konsekuensi yang dihadapi pihak yang bertahan tidaklah gampang. Sakit hati, tentu terus menyertai. Kemungkinan konsekuensi yang harus diterima bagi yang bertahan adalah perang dingin, pisah ranjang, dan kondisi yang tidak enak ketika sedang bersama-sama dengan anak-anak.

Yang membuat kesal tentu jika salah satu tidak menjalankan perannya dan hanya menumpahkan tanggung jawab sepenuhnya pada satu pihak saja. Kendala yang dihadapi pihak yang bertahan dengan perasaannya yang tidak enak itu ia harus tetap dapat menghadapi anak-anaknya dengan baik.

Acting di depan anak-anak

Bertahan dalam konflik bukan sesuatu yang mudah bagi seseorang. Situasi ini bisa menguras energi dan pikiran bagi pihak yang bertahan. Apalagi bila konflik tidak kunjung selesai dan tidak ada solusi, maka akan membuat konsentrasi mereka dalam menjalankan aktivitas sehari-hari mudah teralih. Yang ada mereka kurang dapat optimal dalam melakukan aktivitas dan pekerjaannya. Bahkan dampak konflik orangtua lambat laun juga dapat dirasakan dan berimbas pada kesehatan mental anak-anak. Untuk itu, sebaiknya suami istri perlu mawas diri dengan tidak mengedepankan ego masing-masing. Mereka harus mampu berpikir jernih dan mampu melakukan introspeksi diri. Ber-acting dan pura-pura seperti menjadi suami istri yang normal mungkin mudah dijalankan di awal, namun lama kelamaan akan membuat lelah fisik dan mental.

Jika pasangan tetap bertahan demi anak-anak yang masih kecil-kecil tentu akan memberikan stres tersendiri bagi yang bertahan itu. Mereka beraksi tetap menjalankan peran sebagai sosok suami istri dan orangtua. Acting yang mereka lakukan sebenarnya membuat tertekan, tidak dapat ekspresi apa adanya karena penuh dengan ke pura-puraan dan kebohongan. Namun karena hal ini menjadi tuntutan tersendiri dan dilakukan terus menerus, kemungkinan bisa membuat mereka akhirnya terbiasa. Bahkan bisa saja lambat laun hubungan justru menjadi seperti pertemanan saja. Mereka bisa saling bekerja sama, diskusi dan membicarakan kondisi anak-anak karena sadar masih memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan dan pendidikan anak.

Sikap bertahan dalam konflik bagi sebagian suami istri justru kemudian dapat membawa kebaikan bagi hubungan yang ada. Adakalanya konflik menjadi bumbu dan perekat perkawinan. Melalui konflik dan friksi dapat menambah wawasan untuk saling memahami perasaan, pikiran dan keinginan pasangan. Yang penting bukan pengalaman konfliknya, tapi bagaimana cara mereka mencari solusi dari konflik yang terjadi. Pasangan harus sadar dan memahami adanya perbedaan di antara mereka.

Namun demikian, konflik dapat menjadi tidak sehat jika terjadi terus menerus tanpa ada penyelesaian. Apalagi bila hal ini dilakukan di depan anak-anak. Anak-anak akan merasa tidak nyaman berada di rumah, kesehatan mental mereka dapat terganggu dan prestasi belajar mereka pun dapat menurun. Yang lebih parah, persepsi mereka terhadap relasi suami istri dan konsep perkawinan akan cenderung negatif.

Efek terhadap anak dan keluarga
Sebenarnya kepura-puraan itu tidak baik, akan tetapi menunjukkan pertikaian pun juga tidak baik. Jadi jalan terbaik adalah menyelesaikan dahulu permasalahan, agar mereka dapat memperlihatkan ke anak-anak yang benar dan tidak pura-pura karena kalaupun pura-pura pasti akan kelihatan. Bagi anak yang sudah mengerti akan permasalahan orangtuanya besar kemungkinan akan mengalami perubahan, misalnya menjadi pribadi yang tidak mau peduli, tidak percaya diri, egois, dan lainnya yang tergantung kondisi temperamen anak.

Walaupun dalam dunia psikolog hal ini tidak disarankan, namun dengan melihat upaya dari salah satu orangtua dalam mempertahankan perkawinan tentu memiliki dampak positif pada anak. Karena anak akan mengambil pula pembelajaran yang dilakukan oleh orangtuanya dan diharapkan akan menjadi salah satu bekal kehidupan ketika mereka suatu saat mengalami kondisi serupa.

Tips bertahan dalam konflik
1.Segera menemukan sumber masalah dan mencari penyelesaiannya.
Anda beserta pasangan harus membicarakan permasalahan yang sedang dihadapi. Anda boleh mendapatkan penyelesaian masalah dengan bantuan pihak yang terpercaya dan kompeten, seperti pemuka agama dan psikolog untuk mencari benang merahnya. Misalnya, jika pasangan berselingkuh, maka cari tahu apa yang membuatnya menjadi demikian, sehingga yang harus dilakukan adalah membenahi diri.

2.Introspeksi. Bila Anda sudah mengetahui penyebab konflik, cobalah untuk berintrospeksi. Ini yang seringkali sulit dilakukan. Pasalnya, masing-masing pasangan pasti merasa dirinyalah yang benar. Mereka tak bakal bisa menerima kenyataan bahwa dirinyalah pangkal sebab munculnya konflik tersebut. Mungkin, Anda malu mengakui secara jujur kekurangan, tapi cobalah menjawab dengan jujur pada diri sendiri bahwa yang dikatakan pasangan Anda ada benarnya. Namun, tentunya pasangan juga harus melakukan hal serupa.

3.Jangan memperbesar masalah. Jika Anda dan suami sudah tahu sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya jangan memperbesar masalah. Juga, jangan mencari masalah baru. Misalnya, melakukan tindakan kompensasi untuk memenuhi rasa kecewa, marah atau sakit hati. Pasalnya, ini justru akan memperkeruh suasana dan menjauhkan dari penyelesaian masalah. Yang diperlukan adalah kebesaran hati menerima keadaan yang ada sambil mencoba cara membenahi diri dan situasi.

4.Komunikasi. Apapun, komunikasi merupakan pondasi sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam perkawinan. Tanpa komunikasi, hubungan tak bakal bisa bertahan. Jadi, seberat apapun situasi yang tengah Anda hadapi, sebaiknya tetap lakukan komunikasi dengan pasangan.

5.Cari teman curhat. Kondisi seperti ini memang tidak mengenakkan. Hati merasa tertekan, namun dipihak lain Anda harus menjadi pemain sandiwara ulung. Bagaimana pun stres akan menjalari Anda. Kondisi tak nyaman ini bisa diatasi melalui berbagi dengan orang terdekat, sahabat misalnya. Dengan berbagi beban pikiran akan terasa lebih ringan. Yang harus dicermati, jangan mencari teman curhat yang lawan jenis, karena belum tentu sepenuhnya ia akan mendukung Anda. Selain itu, carilah orang yang terpercaya dan bukan pengedar gosip, karena kisah Anda mungkin tersebar dan bisa mempersulit keadaan.

6.Ingat anak. Anak biasanya menjadi senjata terampuh untuk meredam konflik antara suami istri. Ingatlah bahwa mereka masih sangat membutuhkan Anda dan pasangan, karenanya ketidakjujuran dan kepura-puraan juga tidak baik ditunjukkan pada mereka.

7.Buka lembaran baru. Jika Anda dan pasangan akhirnya bisa kembali rukun, maka Anda
harus siap membuka lembaran baru bersamanya. Jangan pernah mengungkit persoalan dan
penyebab konflik. Yang paling penting saling mengingatkan dan memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada. Berpikirlah bahwa orang yang baik bukan berarti tak
pernah berbuat kesalahan. Tapi, orang yang baik adalah yang menyadari kesalahannya
dan berketetapan tak mengulang kesalahan itu.

Ketika Affair Terjadi

Setiap orang yang akan atau telah menikah tentu mendambakan kehidupan perkawinan yang harmonis, dan setia seumur hidup dengan pasangan. Namun mengapa affair bisa terjadi walau pernikahan terasa baik-baik saja?

Terjadinya affair seringkali tak terkirakan sebelumnya. Terasa seperti mengalir, dan tanpa disadari sudah menjerat demikian dalam. Kehidupan perkawinan pun berubah menjadi tak seindah dan seromantis harapan semula. Affair bisa terjadi pada siapa saja. Tidak hanya pada orang-orang yang kita anggap menjalani kehidupan dengan seenaknya, namn juga pada mereka yang kita pandang telah menjalani hidupnya dengan baik. Affair tidak hanya dilakoni oleh pria saja, melainkan juga oleh wanita di segala lapisan dan golongan, bahkan tanpa memandang usia. Affair bisa saja terjadi pada pasangan berusia muda, atau pun yang sudah berusia lanjut. Pada dasarnya tidak ada orang yang kebal terhadap perselingkuhan dimana saja dan kapan saja. Ketika seseorang memutuskan untuk mengambil tindakan yang lebih jauh dari sekedar memendam perasaan tertarik, pada saat itulah bibit-bibit affair mulai bersemai.

Ada banyak alasan mengapa sesorang memutuskan untuk menikah. Misalnya karena kebutuhan finansial, seksual, status, emosional, dan sebagainya. Maka ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, ada kemungkinan akan tumbuh keinginan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Mengapa mereka yang sudah memiliki pasangan melakukan hubungan dengan orang lain? Karena ada kebutuhan lain yang tidak ia peroleh dari pasangannya. Sehingga ketika ada ‘celah’, mereka akan berkata “ini hak gue”. Apalagi dengan kemajuan teknologi pada zaman sekarang ini, seperti handphone, email, dan lain-lain yang memungkinkan seseorang untuk melakukan komunikasi langsung tanpa diketahui oleh orang lain.

Walaupun tidak bisa dipersentasikan, Kasandra mengatakan bahwa affair biasanya terjadi pada pegawai kantoran. Hal itu dimungkinkan karena frekuensi bertemu di kantor cukup sering, apalagi penampilan di kantor yang cenderung rapi dan wangi, sehingga gampang membuat orang lain tertarik.
Mengapa Affair Bisa Terjadi?
Kadangkala orang yang pasangannya melakukan affair dihinggapi perasaan bahwa ada yang kurang atau salah dalam dirinya. Padahal, apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pihak yang setia bukanlah penyebab timbulnya affair. Tentu saja tetap ada kemungkinan bahwa pihak yang setia telah melakukan kesalahan, karena pada dasarnya tidak ada orang yang sempurna. Mungkin ada masalah, namun pasangan mereka memilih jalan yang kurang konstruktif (selingkuh) untuk memecahkan masalah. Jadi penyebabnya adalah ketidakpuasan akan pasangannya, tuntutan dari ia maupun pasangannya yang berlebihan. Tapi ada juga yang pada dasarnya selalu merasa cukup dengan satu pasangan. Semua itu bisa terjadi pada siapa saja. Tidak ada yang salah pada diri mereka yang setia.

Mencari sebuah hubungan emosi merupakan faktor yang sering memicu affair. Seseorang mungkin merasa puas dengan pernikahan, namun karena banyak menghabiskan waktu di kantor dengan rekan kerjanya yang berlawan jenis, ia terdorong untuk melakukan affair. Awalnya mungkin hanya perhatian, saling menggoda, sampai saling tertarik. Tapi apabila ada komitmen dari kedua pihak untuk saling mengintrospeksi tentang peran masing-masing dalam keluarga, akan mencegah terjadinya perselingkuhan.

Namun disisi lain ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan affair. Pertama adalah faktor internal seperti: ingin tahu, bosan, kebutuhan untuk membuktikan diri, ingin mendapatkan sesuatu yang lain, atau jatuh cinta pada orang lain. Faktor internal juga bisa disebabkan karena kekaguman terhadap orang yang memiliki 'power', kebutuhan akan tantangan, mendapatkan kelegaan karena disakiti atau dendam kepada pasangannya, dan sebagainya.

Faktor kedua adalah pengaruh eksternal. Peluang affair akan semakin terbuka, bila ada kesempatan untuk saling tertarik. Biasanya orang itu sering mendatangi tempat-tempat hiburan yang memungkinkan pertemuan dengan orang-orang baru secara bebas, memiliki kelompok teman yang berpengalaman berselingkuh, dan nilai-nilai moral seksual yang cenderung bebas, serta sering bepergian meninggalkan pasangannya dalam waktu yang relatif lama.

Banyaknya tayangan media – film, soap opera, novel dan sebagainya – mengenai perselingkungan juga dapat membuat orang menjadi 'terbiasa' atau membangkitkan rasa ingin tahu untuk mengalaminya. Alasan orang untuk melakukan affair, biasanya bukan karena satu alasan, melainkan lebih dari satu alasan.

Keluar dari affair
Hanya satu kata bagi mereka yang ingin keluar dari affair. “Say stop or quit!”. Berusahalah memperbaiki hubungan dengan pasangan, dan bila perlu carilah pihak ketiga yang matang dan dewasa untuk menjadi penengah bila diperlukan. Fokuslah untuk mencari solusi dalam menghadapi tantangan, atau masalah-masalah yang ada. Akan menjadi rumit bila pelaku affair tetap menginginkan agar perselingkuhan berlanjut.

Kasandra mengatakan, yang perlu dilakukan oleh pelaku affair adalah resistensi diri dan strategi untuk menghindar. Pertama adalah niat. Jika ada gejala-gejala yang kurang baik kita harus menghindar dengan cepat dan berfikir akan keluarga. Tetapi pada saat menolak pun harus hati-hati karena bisa jadi pasangan selingkuh kita justru menjerumuskan diri kita. Selain itu, pasangan pun harus mendukung dan membantu untuk stay away from affair
Dari segi internal, perkuat iman dengan kegiatan yang dapat memperdalam ibadah. Pelajari dan kenali kebutuhan-kebutuhan psikologis diri sendiri, dan mengarahkannya dengan cara yang konstruktif. Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri diperlukan untuk bisa mengenali dan menghindari situasi-situasi yang menggoda. Bila membutuhkan teman bicara, sebaiknya tidak dengan lawan jenis. Bila senang tipe perempuan yang ceria dan mungil, misalnya, sebaiknya hindari situasi yang mungkin dapat mendekatkan dirinya dengan teman atau kenalan dengan profil seperti itu.

Membangun Kembali Keluarga
Affair dapat terjadi pada hubungan yang telah terjalin kuat sekalipun, sehingga meninggalkan perasaan terkhianati, marah, dan bersalah yang mendalam. Menurut Association for Marriage and Family Theraphy, 25 persen pasangan menikah, sulit mengatasi masalah ini. Tetapi adanya dukungan keluarga, teman, psikolog, dan pengertian pasangan, akan memperbesar peluang untuk mengakhiri perselingkuhan, dan kembali membangun hubungan yang lebih kuat.
Meskipun sulit, pasang surut dalam memulai kembali hubungan setelah terjadinya affair adalah sangat wajar. Namun perlu disadari, bahwa dasar yang perlu dibangun pada setiap pasangan adalah kepercayaan. Kepercayaan dibentuk oleh kedua pihak dengan cara menjaga dan bertanggung-jawab dalam melaksanakan komitmen yang dibuat bersama. Pasangan suami istri perlu memperkuat aspek mental, rohani dan psikologis mereka. Godaan-godaan akan selalu ada karena kehidupan berkeluarga itu seperti perjalanan hidup yang senantiasa ada masa ups, dan downs.
Komitmen terhadap kejujuran sangatlah penting. Pasangan yang lebih terbuka dan dapat berkomunikasi dengan baik biasanya lebih kuat menghadapi masalah. Terbuka dan jujur pada pasangan, akan memperkuat hubungan emosi suami-istri dan menghindari kemungkinan sang pasangan berbuat “diam-diam”. Proses diskusi, akan menghilangkan keinginan sesorang untuk mengambil tindakan di luar sepengetahuan pasangannya.
Ia menambahkan, sepanjang tidak menginginkan perselingkuhan, maka lebih mudah bagi pasangan suami istri untuk menepis godaan yang datang. Mereka akan tetap fokus untuk menghadapi setiap tantangan dan kesulitan yang muncul dalam kehidupan. Orang yang memilih untuk selingkuh sebenarnya tidak menyelesaikan masalah lama mereka, tapi malah menambah 'masalah baru'.
Perlu dipahami bahwa pelaku perselingkuhan telah menyakiti pasangan mereka, sehingga perlu sabar dan lapang dada terhadap reaksi pasangan. Pahami juga bahwa pasangan mereka juga membutuhkan waktu untuk menerima dan memaafkan. Katakan secara baik-baik kepada teman selingkuhnya, bahwa ingin menghentikan hubungan mereka.
Kalau pasangan selingkuhnya – saya sering memanggilnya ‘predator’ – cukup pengertian seharusnya tidak menjadi masalah. Tapi apabila terjadi kerumitan lebih lanjut, misalnya si ‘predator’ tidak mau melepaskan hubungannya, maka berbicaralah dengan asertif dan konsisten. Bila Anda merasa lemah sebaiknya hindari si ‘predator’ itu dan berbicaralah pada pasangan Anda untuk mendapat dukungan dan bantuan

Tips mencegah affair :
1.Terbuka. Kejujuran adalah kunci untuk menghindari affair. Saling terbukalah dengan
pasangan dan selalu mendukung satu sama lain.
2.Kedekatan. Buat dan pelihara keintiman baik secara emosi dan seksual.
3.Smart. Jangan terjebak pada pernyataan bahwa manusia tidak luput dari godaan.
4.Waspada. Ketika mulai tertarik pada seseorang, segera ambil jarak sebelum muncul
perasaan lebih dalam.
5.Jaga sikap. Kalau Anda merasa mudah membuat orang tergoda,ingatlah bila tidak ingin
terbakar, jangan main api.
6.Percaya. Kepercayaan dibentuk dengan bersikap setia kepada pihak lain. Hindari
hal-hal yang membuat kita terpaksa membohongi pasangan.
7.Setia. Kesetiaan adalah cara terbaik untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
dalam suatu perkawinan. Jika merasa tidak puas atau menginginkan pasangan seksual
lain, telitilah dari mana datangnya keinginan ini.
8.Hindari kemungkinan dan kesempatan untuk bertemu pasangan selingkuh, atau pergi
berduaan dengan lawan jenis yang bukan pasangan Anda.
9.Ganti nomer HP atau saluran kontak lainnya, bila perlu.

Friday, August 03, 2007

Tetap Mesra Meski Sudah Ada Anak

Kualitas relasi dan kemesraan suami istri itu dapat turun naik. Apalagi jika harus pula membagi perhatian pada anak. Bagaimana tetap menjaga kemesraan tanpa mengurangi perhatian pada anak?

Bukan saja sebagai anugerah, anak juga diharapkan dapat menjadi penerus keluarga dan mempererat ikatan suami istri. Namun, bila salah satu pasangan kurang peka, kehadiran anak bisa menganggu bahkan mengancam hubungan suami istri. Karena beranggapan anaklah saat ini yang berada di atas kepentingan suami istri. Lama-kelamaan bisa membuat longgar hubungan karena salah satu pasangan (terutama istri) terlalu asyik dan fokus pada momongan baru sehingga dia tidak memiliki waktu lagi buat suami. Perhatian yang tidak seimbang ini tak dipungkiri dapat menimbulkan rasa tak diperhatikan lagi. Ini dapat menjadi potensi konflik dalam rumah tangga.

Ketika sebuah pasangan memiliki momongan untuk pertama kalinya, maka keduanya memiliki peran yang baru yakni sebagai seorang ayah dan ibu. Perubahan peran masing-masing ini untuk sebagian besar pasangan disikapi sebagai suatu pembelajaran sebagai orangtua, namun tidak demikian bagi sebagian pasangan yang beranggapan bahwa anak dapat mengancam keharmonisan. Jika memang hal ini demikian terjadi, kemungkinan istri terlalu letih mengurus bayi.

Kemungkinan terjadi situasi demikian dapat dipengaruhi oleh kepribadian dari pasangan. Misalnya suami yang terbiasa diladeni atau ditunggui ketika sedang sarapan. Dengan bertambahnya kesibukan istri mengurus anak, kemungkinan bisa saja hal itu tak bisa dilakukan lagi atau dilakukan istri jika ia tak sibuk. Dari hal kecil seperti ini dapat menjadi pencetus pertengkaran. ’Ketidak siapan istri berganti peran bisa membuat istri tertekan karena bertambahnya beban. Akibatnya istri menjadi sering marah-marah, merasa lelah fisik dan mental yang pada akhirnya akan mengganggu relasi suami istri.

Memiliki anak memang membutuhkan kesiapan mental yang tinggi dari suami istri. Mereka seharusnya menyadari bahwa dengan datangnya anggota baru tentu perhatian tidak lagi fokus pada pasangan tetapi sebagian perhatian dialihkan ke anak. Di sini perlu adanya pengertian dan keterbukaan dalam komunikasi. Hal-hal yang membuat salah satu pasangan tertekan sebaiknya dikomunikasikan (sharing). Agar hubungan suami istri tetap terjaga, misalnya ketika istri mengeluh capek mengurus bayi, sebaiknya suami tak meremehkan dan melakukan judgement bahwa memang demikian adanya. Suami sebaiknya berusaha empati dan memahami perasaan istri. Dengan demikian, istri merasa memiliki teman berbagi rasa. Istri juga tidak merasa “kamu enak di kantor sedangkan saya capek di rumah” Di sisi lain ketika suami pulang kantor, istri berusaha sejenak menemani ngobrol sambil bercerita mengenai kegiatannya dari pagi hingga sore. Bisa juga memberi kesempatan pada suami untuk mengeluarkan uneg-uneg selama di kantor.

Membagi Pola Asuh
Pasangan yang sama-sama bekerja tentu memiliki masalah tersendiri. Sebagian energi mereka sudah terkuras dari pagi hingga sore di pekerjaannya masing-masing. Sebagian pasangan merasa sudah tidak memiliki waktu lagi untuk bercanda dengan anak karena tiba di rumah sudah menjelang malam. Bagi seorang istri kedekatannya pada anak mungkin diberikan pada saat ia pulang kantor, dengan begitu perhatiannya pada suami menjadi terbengkalai. Begitu juga dengan suami, terkadang sebagian dari suami berpikiran bahwa mengurus anak adalah pekerjaan istri sehingga ia tidak berpikir bagaimana mengurus anak.

Namun, dari sebagian pasangan yang sama-sama bekerja ada pula yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk ngobrol dengan pasangan. Yang ada di benak mereka adalah keinginan untuk cepat dapat istirahat. Bila situasi ini tidak dicermati tentu akan menurunkan kualitas hubungan, bukan hanya kualitas hubungan suami istri tetapi akan berdampak kepada anak.

Pasangan perlu pandai mencermati situasi dan waktu yang ada terutama ketika anak sedang tidur atau sedang tidak rewel. Pada saat demikian pasangan dapat melakukan komunikasi dan menjaga kemesraan bersama. Jangan pernah merasa bahwa anak adalah beban. Kalau mengurus anak dapat dinikmati maka masalah-masalah yang mungkin terjadi sehubungan dengan mengurus anak tidak akan sampai menjadi sumber pertikaian antara suami istri. Hal yang perlu disadari dan disepakati bersama adalah bagaimana pola asuh dan pengaturan waktu untuk semua kegiatan keluarga setelah kehadiran si kecil. Dengan demikian kedua orang tua akan sadar konsekuensi dari perubahan kondisi keluarga mereka dengan kehadirannya. Apalagi bila keduanya sama-sama bekerja.

Pasangan harus mampu mengatur waktu dan juga pembagian kerja dengan pasangan tentang kapan dan tugas apa saja dalam pengasuhan anak. Selain itu diperlukan pula kemampuan mendelegasikan tugas pengasuhan itu sendiri pada pihak yang dapat diandalkan dan dipercaya, misalnya orangtua, mertua, atau pengasuh. Bila cermat dan bertanggung jawab, maka orangtua tidak perlu timbul rasa bersalah. Keterampilan pembagian tugas dan pendelegasian itu sebenarnya juga penting agar pasangan tidak menjadi stres. Kalau mereka stres tentu pengasuhannya juga tidak optimal. Aktivitas yang dikerjakan dan dijalani bersama justru harus menjadi aktivitas yang menyenangkan, tanggung jawab bersama dan bukan sebuah beban.

Buat Strategi

Meninggalkan anak sebentar bukanlah suatu dosa. Oleh karena itu di sela-sela kesibukan ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk pergi bersama. Diskusikan dengan pasangan apa yang akan dilakukan berdua. Makan di luar, belanja bulanan atau nonton bisa menjadi pilihan dan bertujuan untuk refreshing. Dalam kehidupan rumah tangga pasangan suami istri terkadang memerlukan penyegaran hubungan. Ada beberapa cara yang ditempuh pasangan, antara lain dengan meluangkan waktu khusus untuk berduaan pergi keluar rumah agar merasa berpacaran lagi. Namun ketika keluar rumah, kita juga perlu memastikan anak diasuh oleh orang yang dipercaya. Sehingga ketika kita berada di luar pun juga merasa nyaman.

Istri jangan terlalu asik “bermain” dengan anak tetapi juga berusaha untuk melibatkan suami dalam aktivitasnya terutama ketika hari libur. Selain itu, istri juga dapat meminta suami untuk membantu menangani anak seperti menyuapi, mengganti baju, memandikan dan lain sebagainya. Dari keterlibatan ini akan tercipta kerja sama yang baik dan di sisi lain pasangan tidak merasa tersisih.

Namun komunikasi suami-isteri memang harus jujur dan terbuka, sehingga apa yang diinginkan oleh masing-masing pasangan dapat disampaikan dan tidak dipendam saja. Kemudian kegiatan mengasuh bayi dinikmati dan menjadi kegiatan berdua, serta perlu juga diatur waktu-waktu khusus untuk diri sendiri dan bersama pasangan. Si kecil juga dapat diajak komunikasi kok. Bisikkan atau katakan padanya bahwa orangtuanya juga perlu waktu untuk dapat men-charge energi dengan kegiatan-kegiatan refreshing supaya dapat memberikan yang terbaik dari diri mereka untuk dia juga.

Tips pasangan awet mesra
1.Buat pola mengasuh anak dengan baik. Jika memang harus mengasuh tanpa ada
babysiter, maka kalian perlu membuat pola mengasuh seperti apa yang akan digunakan,
agar waktu untuk bersama pun tidak terbengkalai.
2.Kalau hanya menjadi penonton, tentu perasaan bosan dan jenuh akan cepat muncul.
Untuk menghindarinya maka suami perlu diajak untuk terlibat dalam bermain dan
mengasuh si kecil.
3.Isteri jangan terlalu berharap banyak bahwa suami akan dapat membantu banyak Yang
penting adalah keterlibatannya secara emosional dulu . Dengan begitu si ayah juga
akan menikmati dan tidak merasa terbebani dan menikmati kegiatannya bersama si
kecil.
4.Cobalah untuk pergi ke tempat-tempat Anda pacaran dulu, misalnya bioskop, kafe dan
lain-lain. Gairah harus terus dijaga karenanya sesekali ciptakan suasana seperti
ketika pacaran dulu.
5.Jika sama-sama bekerja, cobalah untuk pulang bersama dari kantor. Jadi komunikasi
tetap berjalan di sepanjang perjalanan pulang.
6.Bersikap terbuka. Jika Anda memiliki uneg-uneg, jangan dipendam sendiri, karena
akibatnya malah tak mengenakkan bagi Anda maupun pasangan. Utarakan saja apa yang
membuat Anda tidak tenang.
7.Tetap tampil menarik. Memang, penampilan sebelum dan sesudah menikah pasti berbeda.
Apalagi bila sudah punya anak. Biasanya, bentuk badan berubah, menjadi gemuk
misalnya. Namun, bukan berarti Anda tak bisa tampil menarik di depan suami. Meski
bentuk tubuh berubah, Anda tetap bisa, kok berdandan cantik. Berpakaian rapi
misalnya. Hal-hal seperti inilah yang kadangkala membuat suami tak betah tinggal di
rumah dan mencari wanita idaman lain.
8.Beri kejutan. Tidak ada salahnya, sekali-kali Anda memberikan kejutan pada
pasangan. Kejutan ini dapat menjadi tanda besar bahwa Anda masih memperhatikan
pasangan. Tak perlu yang berharga mahal, agenda kerja bertuliskan kata-kata cinta
atau cokelat berbentuk hati pun cukup unik dan membuat kenangan tersendiri bagi
pasangan.
9.Buatlah beberapa hal yang akan dilakukan pasangan bersama. Hal ini untuk membantu
membangun relasi dan kemesraan kembali.
10.Bulan madu kedua. Ambillah cuti dua-tiga hari dan pergilah ke tempat-tempat
romantis, berdua saja, tanpa kehadiran anak-anak. Dalam suasana ini, Anda akan
merasakan kembali cinta pertama seperti saat belum ada anak-anak.

Wednesday, July 25, 2007

Preman Masuk Kampus

Beberapa hari ini pers mahasiswa Teknokra Unila (organisasi yang pernah aku geluti 4 tahun) diserang oleh beberapa oknum dari mahasiswa yang berubah menjadi preman kampus. lagi! kekerasan terhadap pers terjadi.
langsung saja, seluruh alumni Teknokra (termasuk saya) jengkel, maral, kesal dll mendengarnya. cuma satu kata,LAWAN!
salah satu bentuk perlawanan alumni adalah dengan memberitakan peristiwa kekerasan tersebut.
berikut berita yang ditulis oleh salah seorang alumni kami,
Budisantoso Budiman/ANTARA Lampung

GARA-GARA BERITA, SKM "TEKNOKRA" DIANCAM OKNUM
MAHASISWA FKIP UNILA
Bandarlampung, 24/7 (ANTARA) - Gara-gara
pemberitaan tentang pengutipan "uang parkir" tidak
resmi oleh petugas Satuan Pengamanan (Satpam) di salah
satu fakultas di lingkungan Universitas Lampung
(Unila), pengelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM)
Teknokra malah mendapatkan ancaman dan perlakuan buruk
dari sejumlah oknum mahasiswa fakultas itu.

Informasi yang diperoleh ANTARA Bandarlampung,
Selasa, menyebutkan, aksi menjurus pada premanisme di
Kampus Unila itu justru terjadi pada saat PTN umum
terbesar di Lampung itu menjadi tuan rumah Pekan
Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-20 (17-22/7)
lalu.

Pimpinan Umum SKM Teknokra, Taufik Jamil
Alfarau membenarkan kejadian pada Kamis (19/7), saat
SKM Teknokra di kantornya di Pusat Kegiatan Mahasiswa
(PKM) Unila, kedatangan "tamu" dari Unit Kegiatan
Mahasiswa Fakultas (UKMF) Kelompok Studi Seni (KSS)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila.

Mereka datang atas keberatan terhadap
pemberitaan yang pernah dimuat "Teknokra News" Edisi
86 yang berjudul "Satpam FKIP "Panen" Uang Parkir".

Namun, kedatangan mereka tersebut dilakukan
tidak dengan santun. Salah satu diantara oknum
mahasiswa dari UKMF KSS itu mengancam dengan
mengacungkan senjata tajam (badik) kepada pengurus
Teknokra yang ada di sekretariatnya.

Taufik menuturkan, setelah kedua tamu
mahasiswa FKIP Unila itu dipersilakan masuk, tak lama
kemudian sekitar tujuh orang mahasiswa lainnya
tiba-tiba masuk ke ruangan tanpa permisi.

Mereka kemudian mengambil posisi duduk di
sofa, salah satu dari mereka langsung mengatakan
maksud dan tujuan kedatangan dengan nada tinggi, yang
menuding SKM Teknokra melalui pemberitaan itu mau
mengadu domba mereka dengan Satpam di fakultasnya.

Para oknum mahasiswa itu bahkan secara
emosional, menunjukkan pula berita yang dipersoalkan.

Suasana pun menjadi panas, walaupun Taufik
kemudian berusaha untuk menenangkan dan memberi
penjelasan kepada mereka. Namun, mereka tetap tidak
terima dengan penjelasan itu dan memaki-maki dia
dengan kata-kata kotor dan cabul.

Kendati terus mencoba menenangkan dan memberi
penjelasan bahwa Teknokra tidak bermaksud
menjelek-jelekkan KSS, maupun Satpam atau mengadu
domba diantara keduanya.

Kepada para mahasiswa itu, Taufik mengatakan,
berita itu merupakan hasil wawancara dan isinya tidak
terdapat kata-kata yang menjelek-jelekkan kedua belah
pihak.

Tapi penjelasan itu tidak membuat mereka
mengerti, bahkan emosi mereka semakin menjadi, dan
mereka serentak berdiri seraya menunjuk-nunjuk serta
mengeluarkan kata-kata kotor dan cabul.

Salah satu diantara mereka bahkan ada yang
mencabut senjata tajam berjenis badik dari pinggang
dan mengacung-acungkan di depan muka Taufik.

Walaupun mundur karena melihat situasi tidak
bisa terkendali, mereka kemudian naik ke atas sofa,
dan salah satu mahasiswa itu memukul dada serta pipi
sebelah kiri Taufik disaksikan yang lainnya.

"Kami tetap mencoba menghindari kontak fisik,
bukan karena takut tetapi tidak mau membuat nama Unila
tercemar karena adanya perkelahian, mengingat sekarang
sedang ada Pimnas ke-20. Walaupun kawan-kawan di
Teknokra itu sempat terpancing emosi dan akan melawan,
tapi saya menghalang-halangi, " urai Taufik pula.

Salah satu dari oknum mahasiswa itu, juga
mencoba untuk menenangkan teman-temannya yang sudah
emosi dan mengajak keluar Sekretariat Teknokra,
walaupun salah satu diantara mereka keluar sembari
melampiaskan kekesalannya dengan menendang daun pintu,
menggebrak meja serta membanting vas bunga milik
Teknokra.

Menurut Taufik, setelah kejadian itu, sejumlah
pihak atasnama mahasiswa itu berupaya untuk bertemu
dan mengajak "damai".

Sejumlah alumni Unila yang pernah aktif di SKM
Teknokra yang mengetahui peristiwa "penyerangan dan
pengancaman" itu, justru mendesak agar kasus tersebut
diproses hukum dengan diadukan kepada polisi, sehingga
oknum mahasiswa FKIP Unila yang mengancam dihukum
sesuai kesalahannya.

Salah satu dosen Fakultas Hukum Unila, Dr Eddy
Rifai bahkan mengaku siap mendampingi para aktivis
pers mahasiswa Teknokra itu, untuk menindaklanjuti
kasus pengancaman terhadap institusi pers kampus itu
kepada aparat penegak hukum.

"Jangan pernah membiarkan tindakan anarkis dan
sewenang-wenang terjadi dialami kawan-kawan pers
mahasiswa, apalagi pelakunya oknum mahasiswa di kampus
sendiri," ujar salah satu kandidat yang lolos nominasi
Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu
pula.

Sejumlah alumni Unila yang pernah aktif di SKM
Teknokra lainnya, juga mendesak agar pihak Rektorat
dan Dekan FKIP Unila segera memproses dan
menyelesaikan kasus tersebut.

"Tidak cukup dengan minta maaf dan berdamai,
kalau dibiarkan tanpa tindakan hukum yang tegas akan
menjadi preseden buruk bagi SKM Teknokra dan pers
mahasiswa lainnya,' kata salah satu alumni itu pula.

Juwendra Asdiansyah, alumni SKM Teknokra yang
juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung
juga mengecam keras tindakan oknum mahasiswa FKIP
Unila kepada Pengurus SKM Teknokra itu.

Menurut dia, seharusnya mekanisme hak jawab
dan cara-cara menyelesaikan masalah berkaitan dengan
keberataan sebuah pemberitaan tidak dilakukan dengan
cara yang anarkis dan cenderung premanisme seperti
itu. Apalagi di lingkungan kampus yang semestinya
lebih mengedepankan sikap santun, rasional dan cerdas.

Diselesaikan Kekeluargaan
Namun Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila
(PR III), Drs M Thoha BS Jaya MS menilai, persoalan
itu adalah internal Unila yang masih bisa diselesaikan
secara baik-baik dan dengan kekeluargaan oleh pihak
Unila sendiri serta tidak perlu sampai dibawa ke
polisi.

Thoha menegaskan, telah minta Pembantu Dekan
Bidang Kemahasiswaan FKIP Unila untuk segera
mempertemukan kedua pihak lebih dulu, untuk kemudian
diajak bertemu langsung dengan dirinya.

"Kebetulan dua hari ini saya masih tugas di
Jakarta, tapi setelah kembali akan segera
mempertemukan mereka untuk menyelesaikannya dengan
baik-baik," kata Thoha lagi.

Thoha berpendapat, insiden itu adalah
persoalan internal yang dapat diselesaikan secara
kekeluargaan di Unila sendiri. Apalagi tidak ada yang
korban sampai terluka atau akibat buruk lainnya.

Tapi dia juga berjanji, tidak akan membiarkan
adanya oknum mahasiswa yang berbuat anarkis dan
cenderung berlaku preman di lingkungan kampusnya
sendiri.

Kendati begitu, Thoha belum dapat memastikan
kemungkinan memberikan sanksi kepada mahasiswa FKIP
yang terbukti melakukan tindakan pengancaman dengan
senjata tajam dan perbuatan tidak menyenangkan lainnya
kepada crew SMK Teknokra itu.

Pimpinan Umum SKM Teknokra dan Pengurus surat
kabar mahasiswa yang tetap eksis di Indonesia itu,
juga mengharapkan persoalan tersebut masih bisa
diselesaikan secara baik-baik dan damai mengingat
pelakunya adalah juga mahasiswa di kampus mereka.

Tapi mereka mengharapkan, tidak ada lagi
tindakan kekerasan, intimidasi apalagi pengancaman
terhadap pers mahasiswa terjadi di Unila hanya karena
keberatan dengan pemberitaan seperti itu.

Tuesday, July 17, 2007

Gede


Jadi kapan? Gimana kalau jumat besok?
Ok, jadiin ya!
Kurang lebih begitu bunyi sms ku dengan dede. Sebenernya perjalanan gue ama temen-temen (Yudi, Dede, and Brang) ke Gunung Gede yang tingginya 2900an itu sulit buat gue ceritain lewat tulisan, bener-bener seru. Cuma bedanya pendakian kita kali ini nggak pake acara nyasar kayak di PS (piss…)

Rencananya emang udah lama, namun sayangnya sering banget ketunda. Ada-ada aja halangannya. Emang kalo direncanain pasti kebanyakan gagalnya ketimbang dadakan. Awalnya ada dua cewe yang bakal nemenin gue, tapi satu hari menjelang hari H keduanya gagal karena yang satu nungguin pengumuman dan satu lagi sedang ada kerjaan. Alhasil, lagi-lagi gue kembali menjadi manusia paling cantiq, like usual.

Gak banyak yang gue persiapin, hanya beberapa helai pakaian dengan perangkatnya, handuk kecil, jaket, kaos kaki cadangan, alat cantique (baby cologe, baby powder, facial wash, toot brush, pasta), makanan (mie, mie and mie ), and of course wet tissue (buat pup).
***
Hari ke 22 dibulan Juni 2007 pukul 1 siang. Kalau di Jakarta pasti lagi panas-panasnya, tapi disini kayak udah sore. Bahkan udara disini udah buat tubuh gue menggigil. Puncak Gede dan Pangrango dikelilingi kabut tebal, seolah-olah meledek ledek minta didaki.
“Liat aja lo, besok pasti gue injek-injek”
Ya…itulah Cibodas. Kita tiba di Green Ranger dengan selamat. Disini kita disambut oleh mamah Tiara. Mungkin kalau di PS (baca: April-PS) mamah seperti emak, Cuma bedanya kalau si Mamah jualan peralatan gunung, tapi kalau si emak jualan pisang molen.

Pukul 10 malam kita mulai naek. Kalo di PS kita hanya bermodalkan lighting senter korek api gas, kali ini kita lebih prepare. Masing-masing dari kita memegang senter. Jadi lighting tidak ada masalah.

“Bro kita free talk dulu yuk..” ajak gue sambil ngos-ngosan. Free talk adalah istilah kita untuk istirahat dan berbicang-bincang sejenak.
Tempat kita free talk pertama adalah di Telaga Biru, disini kita bukan hanya free talk tapi ada acara rebus air dan makan mie segala (dasar…). Bahkan Dede sempat tertidur dulu. Padahal perjalanan baru aja dimulai.
“Nyantai aja kan, kita nggak buru-buru,” celetuk Dede sambil merebahkan badannya, dan nggak lama dengkurannya pun udah kedengeran.

Pukul 1 dini hari perjalanan kita lanjutkan, rencana kita akan ngecamp di Kandang Badak, atau minimal di Kandang Batu.
“Pokoknya nyantai aja, kalau capek ya kita gelar tenda, oke. Kita gak ada target kan?” seru iduy.
Siippp…seru kita.
Namun sayangnya perjalanan sampai air panas saja belum sampai tapi kaki ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Kita pun gelar tenda. Kira-kira pukul 8 pagi kita bangun, namun segera digegerkan dengan hilangnya sepatu Boogie milik Iduy.
“Yah trus gue naek pake apa dong? Masa nyeker? Mana masih jauh lagi!” serunya
“Kita hubungin Green Ranger aja. Sapa tau bisa kena periksa di bawah,” kata gue.
Sambil mengutuk-ngutuk si maling, kita beres-beres tenda sekaligus Iduy mencari-cari sinyal. Si sampah teknologi itu kini benar-benar menjadi “sampah” di gunung seperti ini.
Ternyata bukan hanya sepatu saja yang kena sabet, gak tanggung-tanggung, kaos kaki Iduy pun di babat si Maling. “Padahal yang penting tuh kaos kakinya. Baru aja gue beli,” gerutu Iduy. Kedengeran sekali kalau kata-kata itu menyenangkan hatinya sendiri. Padahal sudah jelas-jelas yang lebih penting ya sepatunya.
Iduy pun naek pakai sandal jepit “tulang ikannya” milik Dede. Gak bisa gue bayangin sakitnya kena batu-batu tuh kaki, karena sendal jepit milik Dede benar-benar mirip “tulang ikan” saking tipisnya terkikis.

Setelah melewati air panas dan kandang batu, akhirnya tiba juga di Kandang Badak. Kelihatannya lebih dari lima belas tenda ngecamp disana. Disana kita berkenalan dengan pendaki asal Jakarta, mereka adalah Ipul, Asep, and Doger (namanya lucu2 ya). Mereka mau naek ke puncak Gede, tapi langsung turun lagi. wuih..hebat juga nih bocah, pikir gue. Rencana kita yang awalnya juga akan ngecamp di puncak gede, lagi-lagi di cancel. Kaki udah nggak bisa diajak kompromi lagi. kembali, tenda pun digelar.
“Kita ngecamp disini aja yak. Besok kita ke Pangrango trus turun lalu kita ke Gede. Bagaimana?” ajak Dede.
“Okeh gak masalah. Iya kan khe?” jawab Iduy.
Ya..ya..ya…
Rencana yang perfect. Cuma apa iya bisa naek turun puncak segitu cepetnya? Tapi lihat besok ajalah, pikir gue.
Brang, seksi peralatan dan perlengkapan segera menggelar tenda. Tuh bocah emang doyan banget bongkar pasang tenda. Badannya bener-bener kuat, maklum gunung Gede mungkin bagi dia ngga seberapa. Karena beberapa bulan sebelumnya dia bersama 5 orang pendaki lainnya baru aja mendaki gunung Cartenz di Jayapura sana, ck..ck…ck…

Sore disana emang dingin banget. Untung si Brang ama Iduy buat minuman. Lumayan, bisa buat badan sedikit hangat. Dibawah tenda kita berdiri, ada 2 tenda yang lumayan gede. Satu tenda sama kayak kita punya, satu lagi mirip tenda pramuka. Panjang dan lebar...
Sebagian besar isinya awewe (alias cewe), mungkin cowoknya hanya dua atau tiga orang dan sebagian besar dari mereka turunan China. Kerja mereka masak…masak dan masak. Habis dari obrolannya yang kedengeran sampai ke kita Cuma makanan terus, hehehe….bikin ngiri karena kita Cuma bisa masak mie, kerupuk dan sarden oh iya gak lupa ikan asin bawaannya Iduy.

Disini nggak buat api unggun seperti di PS. Maklum, hutan di Gede termasuk yang dilindungi. Jadi kita maen api kecil-kecilan buatan Iduy, sedang si Brang selalu asik dengan nestingnya. Gak pa pa, dari pada gak ada kerjaan, jadi ngerebusin air terus. Si Dede mana yak? Oh iya, selesai makan dia langsung masuk ke sleepingbag ¬nya, tuh bocah emang kalo digunung ketauan sifat ASLI nya. MALES!!

Sekitar pukul 8-an, tiga orang pendaki Jakarta yang gue certain diatas tadi turun dari puncak Gede.
“Assalamualaikum…” entah seru siapa, karena gelap gue gak bisa lihat muka mereka satu-satu.
“Walaikumsalam..” jawab kita sama-sama.
“Wah udah turun. Yuk kita ngopi2 dulu, nih ada kopi lampung. Ngicipin…hehhee,” seru Iduy.
Kita pun bercakap-cakap. Sampai akhirnya gue dah gak tahan lagi ama angin yang “nampar2” muka. Gue masuk tenda, kemudian masuk ke sleepingbag. Kalau dipikir2 badan gue udah kayak ulet aja masuk ke sleepingbag, yang keliatan Cuma muka doank :D
Emang temen2 gue ini baek, mereka tau kalau gue gak bakalan bawa peralatan gunung sebagai mana mestinya. Jadi gue dipinjemin jaket anti angin, sarung tangan, sleepingbag ampe kaos kaki. Tapi tunggu dulu, kaos kaki gue bawa sendiri. Gue gak mau bau favorit gue bercampur dengan bau mereka heheheh…(piss guy).

Ada tiga sleepingbag. Satu dipakai Dede, satu dipakai gue dan satu lagi dipakai Brang, sedang Iduy dia pakai jaket super tebel yang ketebalannya sama aja kayak sleepingbag.

Sepertinya ketiga anak Jakarta itu ngecamp di Kandang Badak. Cuma mereka pakai apa? Gue gak abis pikir. Setelah gue lihat pagi-pagi, ternyata mereka tidur Cuma ditutupin terpal warna hitam, dengan alas karpet.
“Hah! Jadi tadi malam kalian minep disini? Dengan beginian nih? Gila…bener2 gila,” seru gue pada mereka.
Hehehhe….jawab mereka
Yah..dia malah ketawa. Bukannya mikir, pikir gue dalam ati.

Setelah makan pagi, kita semua beres2. rencana kita selanjutnya naek ke puncak gede lalu ke surya kencana (lihat edelwis) kemudian turun ke Cibodas. Sedang, rencana tiga orang Jakarta itu ya langsung turun. Karena sebenernya mereka tidak ijin untuk menginap melainkan hanya ke air terjun Cibeureum. Dasar…
Tapi tunggu dulu, sebelum menjalankan rencana kita masing-masing kita mengabadikan moment terlebih dahulu, tidak lupa kita pun bertukaran email dan nomor telepon (sebenernya yang ngasih nomor telepon Cuma gue doang sih, hehehe...)
“Pakai cariel nya dong, biar gaya,” seru iduy.
Halah…
123…Cheerrr….

Selanjutnya kita berpisah dan melanjutkan perjalanan masing2. Dua jam lebih lebih perjalanan menuju puncak. Ditengah jalan kita ketemu bule, gila langkahnya panjang2 banget. Wajar aja kalau dia nyampe duluan. “Kalian baru sampai? Wah kalian naik escalator lambat ya,” begitu katanya saat berpapasan kita di puncak.
“Ya iyalah situ enak kakinya panjang, nah kite?,” tapi gue jawabnya dalam ati hehehe…
Waktu perjalanan naek ke puncak, kita ngelewatin tebing yang lumayan curam dan lumayan tinggi. Walaupun disediain tali buat manjat, tetep aja bikin jantung gue ketar ketir.
“Khe bisa ngga? pegangan gue aja!” seru Brang. Walaupun dia bawa cariel paling gede, tapi kayak nggak ada beban sama sekali. Beda ama gue. Padahal tas gue udah dibawain ama Iduy, tapi tetep aja ngerasa berat. Duh kalau begini, gue ngerasa badan gue ‘ndut banget, kalau kurusan enak banget kali yak 
Setelah melewati tebing curam itu tak lupa foto-foto, teteeppp….habisnya pemandangannya indah banget. Maklum jarang-jarang ngeliat gunung dari deket, jadi keliatan norak yak :D
Belum lagi pas nyampe puncak. Gak ada abisnya moto-motoin pemandangan. Kalau selama ini kita ngeliat awan keatas, kali ini kita ngeliat awan kebawah. Kita bener-bener ada dipaling atas puncak gunung. Busyeettt...cantik banget

Kita sampai di puncak pukul 12-an siang. Setelah foto-foto, kita istirahat sebentar sambil masak mie (lagi-lagi..) karena emang Cuma mie yang tersisa.
“Gila bagus bangett..khe mau ikut gue gak foto-foto?” ajak Dede.
“Gak ah, udah cukup. Kaki gue pegel banget. Pengen ngaso dulu bentar,” jawab gue. Rasa-rasanya udah gak sanggup lagi gue jalan. Capek banget. Bahkan Iduy dan Brang sempet tidur dulu.

Jam 3 kita kembali turun. Rencana ke Surya Kencana gagal. Selain karena waktu, gw juga ogah. Sebenernya kepengen banget Cuma kaki gw juga ogah buat diajak jalan lagi. Giliran melewati tebing curam yang tadi kita naikin. Lagi-lagi dengan bantuan si Brang gue bisa ngelewatin semua itu dengan deg-degan. Dede udah sampai di bawah duluan. Dia moto-motin kita yang lagi susah payah turun pas ditebing tadi, jadi kita nurunin tebing itu pake gaya, dasar…
“Kayaknya kita mesti minep semalam lagi deh. Gimana kalau pulangnya besok? Kita pasti kemaleman di jalan. Sekarang aja udah sore, gimana De?” ujar Iduy tiba-tiba.
“Iya juga. Gw sih hayo aja. Lu gimana khe?” jawab Dede. (Kalau Brang nggak sudah ditanya. Kalau dia sih berharap lama-lama di gunung, emang udah jadi orang gunung. Mukanya aja mirip yang hidup di gunung) hihihi…piss.

Hah? Minep lagi? Besok kan senen. Trus gawe gue gimana? Emang sih deadline dah selesai. Cuma kan gue baru dua bulan gawe, masa dah semau-mau masuk? Tapi gue juga pasti gak mungkin bisa masuk besok kalau begini. Setelah dipikir-pikir bener juga kata mereka. Sampai di kandang badak aja mungkin jam 5-an, belum turunnya pasti mesti butuh waktu 5 jam-an. Gue juga ogah ngelewatin air panas malem-malem, kalau kepeleset gimana? Wahh…ntar dulu deh.
“Gimana yak? Bener sih. Ya udah deh…tapi gue musti butuh sinyal buat hubungin temen. Orang2 pasti nyariin gue! Tapi logistic kita gimana? Dah nggak ada lagi?”
“Masih kok kalo buat sekali lagi. Ya udah lu ketik sms aja dulu. Ntar pas dapet sinyal langsung lu kirim,” kata Iduy.

Sesampainya di Kandang Badak. yang lain sibuk diriin tenda, gue sibuk nyari sinyal. Tapi tetep aja si 'sampah' ini nggak ngebantu gue. Eitt..tunggu dulu, yang sibuk buat tenda Cuma Iduy and Brang, karena Dede seperti biasa…memperlihatkan sifat aslinya. TIDURAN! Dasar…
Waktu itu Cuma sedikit yang ngecamp di Kadang Badak. Kalau nggak salah Cuma ada 5 tenda, salah satunya ada yang dari Tangerang (3 cowo 1 cewe). Terakhir gue tahu cewe itu Vera, asalnya dari Lampung, lainnya gue lupa.

Besok paginya, pukul 8 kita mulai turun. Pendaki asal Tangerang itu berencana naek ke puncak. Sedangkan kita langsung turun, dan tak lupa foto dulu. Pas turun kaki gue sempet kesandung batu, dan hasilnya lumayan buat lutut gue ungu (sakit juga sih).

Sesampainya di Cibodas kita mampir ke Green Ranger kembali. Baru setelah kita makan dan bersih-bersih badan kita berpamitan dengan Mamah dan suaminya Bang Idhat (maaf kalau tulisannya salah ya bang).

Pukul 2 siang kita mulai turun. Puncak masih macet, maklum hari itu pertama liburan anak sekolah jadi termasuk lama juga didalam bus menuju kampung rambutan. Untung sampai di Taman Safari gue bisa dapet tempat duduk, tapi sayangnya Dede terpaksa berdiri. Dia nggak kebagian tempat.
Sampai di Kampung Rambutan kita naek bus way. Selain murah, bisa langsung depan kosan. Karena kosan gue deket dengan shelter Benhil. Tapi Iduy kepengen ketemu temannya dulu (EB namanya). Jadi sebelum sempet nyampe shelter Benhil kita turun di Manggarai. Belum lama nunggu di depan Pasar Raya, EB datang dengan temannya. Kita pun mampir ke kontrakannya sebentar lalu makan di TIM. Baru setelahnya sekitar pukul 11 malam gue balik kekosan, diantar oleh mereka.

Huh…perjalanan yang sangat panjang dan kaki gue seperti mati rasa. Capek banget!!
Tapi its ok, tiga hari full adventure. Capek gue ngga seberapa dibandingin ama pengalamannya. Karena belum tentu dalam waktu deket bisa seperti itu lagi. Kalau Dede bilang, dia bakalan ke Gede lagi bukan ngajak gue (karna bosen) tapi dengan sang istri (buat honey moon), hahaha….begitu katanya.
“Emang lo bisa diriin tenda De?” seru gue sambil ketawa waktu dia bicara gitu.
“Sialan lo. Ya bisa lah..” jawab dia.
“Becanda De…gue tunggu kabarnya aja, ok Bro” .
Kali ini foto hasil jepretan kita lumayan banyak yang bagus2, nggak kayak waktu di PS dulu. Bener-bener...

Thursday, July 12, 2007

Belajar berkeluarga...

Memang benar yak kalau menikah, trus punya anak lalu hubungan suami istri bisa jadi tidak mesra?
Kaget! Itu yang aku lakukan ketika si bos menyuruhku memberikan tema untuk bulan ini.
“Jadi suami istri itu kalau sudah punya anak…Bla…bla….bla…. kamu paham kan Khe?” katanya.
Ups. Apapula ini. Paham sih, tapi emang iya ya? Duh gak habis pikir.
Ini adalah tugas ketiga ku menulis tentang keluarga. Macam-macam saja tema yang diambil. Maklum, secara aku belum mengerti dengan segala hal yang berhubungan tentang keluarga, wong kepikiran untuk menikah saja belum, malah disuruh menulis hal-hal kayak begonoan.
“Kamu kan bisa konsultasi gratis khe dengan para psikolog itu. lumayan buat kamu belajar nanti,” begitu kata si bos. Kalimat pemotivasi diriku. Awalnya aku ogah-ogahan menulis tulisan keluarga ini, tapi setelah dipikir-pikir….
ehmm boleh juga untuk pembelajaran, hehehe…

Bulan lalu aku disuruh membuat tulisan tentang suami istri yang berkonflik tapi mereka tetep tinggal satu atap. Awalnya aku nggak percaya ada pasangan yang seperti itu, karena dipikiran ku, kalau dah nggak cocok ngapain dipaksain. Hehehe…pikiran bocah
Ternyata kalau sudah berumah tangga itu banyak hal yang bisa buat jadi konflik. Jangan berbicara tentang perselingkuhan deh, karena kalau itu sudah biasa. Lihat saja berita infotaiment, banyak artis yang kawin cerai gara-gara salah satu pasangannya selingkuh. Tapi ternyata hal kecil seperti anak pun bisa menjadi hal pemicu untuk cerai. Sepele memang kelihatannya tapi begitulah kenyataan. Bahkan dengan tetangga pun kita perlu berhati-hati. Neighbour, friends or foe? Begitu aku kasih judul pada tulisanku yang pertama. Ternyata tetangga bisa membuat pola asuh sebuah rumahtangga menjadi berubah, bahkan pengaruhnya sangat besar. Wah..wah…begitu yak.

Tuesday, July 10, 2007

Sang Juara Itu.....

Lama aku tunggu, akhirnya datang juga. Untuk ukuran pria remaja dia termasuk tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu besar. Mungkin sekitar 40 kg. Dari pakaiannya ia kelihatan biasa saja, hanya kaos oblong berkerah dengan celana jeans dan sandal jepit. Jerawat mini di mukanya menandakan kalau ia sudah menanjak remaja, namun tetap terlihat menarik. Ia berjalan bersama seorang pria, dari perawakannya mungkin ia berumur 40 tahunan. Rambut gondrong, dengan celana panjang belel serta kaos oblong yang sama-sama belel. Memperlihatkan kalau ia berasal dari golongan yang sangat biasa. Bukan orang kantoran, juga bukan orang berada, karena tubuhnya pun tidak kelihatan terurus.
“Maaf mba lama menunggu. Saya Farid,” seru pria remaja itu.
Segera aku berdiri dari tempat duduk dan menjabat tangannya dengan erat. Kata nenek, kalau bersalaman dengan orang harus erat dan tegas, itu menandakan juga karakter orang dan keseriusan kita.
“Aku Rieke. Tidak apa-apa, Aku yang salah karena datang terlalu cepat,” ucapku.
“Aku tinggal ya mba, mau jaga warung lagi,” seru pria yang bersama Farid.
"Ok terimakasih banyak pak," jawabku

Ternyata pria yang bersamanya itu adalah Abrori, ayah Farid. Sehari-hari ia menjaga kios rokoknya didepan sekolah Farid. Tidak, terlalu bagus untuk disebut kios, mungkin lebih tepat kalau dibilang warung kecil.
Aku dan Farid segera mencari tempat. Ya, kedatanganku ke Bekasi hari itu adalah untuk mewawancari Farid, sang juara catur dunia untuk kelompok umur 15 tahun di Yunani Mei lalu.
Farid pun bercerita akan kemenangannya di Yunani sana. Dengan nilai nyaris sempurna 8,5 dari 9 permainan membuat Indonesia bangga mempunyai putra yang amat pintar di olah raga berfikir itu. Mengalahkan pecatur Rusia dan Turki. Sungguh mengagumkan. Remaja bernama lengkap Farid Firman Syah ini belum genap umurnya 14 tahun, namun rekornya menjuarai berbagai perlombaan catur sudah seabreg-abreg. Dia bukan orang kaya, dia hanya orang biasa. Dia juga tahu catur bukan dari sekolah catur, walaupun akhirnya ia pun disekolahkan di sekolah catur ternama SCUA. Dia tahu catur dari ayahnya yang setiap malam sering bermain catur dengan teman-temannya. Hingga akhirnya ia tahu langkah-langkah si biji catur itu, sang ayah memasukkannya di SCUA tempat biasa ia berjualan rokok. Walaupun demikian Amaroh (sang ibu) harus menyisihkan 75 ribu setiap bulannya dari penghasilan yang tidak seberapa itu untuk biaya sekolah Farid. Nilai yang lumayan besar bagi mereka, namun tekad Farid ingin belajar catur membuat Abrori dan Amaroh berjuang keras untuknya.

Ajaib! Hanya 3 bulan Farid bersekolah, ia sudah bisa mengikuti perlombaan catur antar pelajar di Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, juara I pun di sabetnya. Saat itu Farid belum genap berumur 9 tahun.
“Aku ingin bantu Ibu dan Ayah. Aku ingin seperti pecatur Susanto yang dapat membeli mobil dari hasil catur,” seru Farid.
Sungguh keinginan yang luar biasa. Sadar dengan keadaannya, Farid merasa harus membantu kedua orangtuanya. Dengan motivasi inilah, akhirnya ia berhasil mensabet seluruh perlombaan catur lainnya. Hingga kini ia mendapat gelar master nasional. Walaupun saat ini dia mendapat gelar grand master untuk tingkat junior, namun ia merasa tidak harus belajar sampai disitu. Kini, obsesinya ingin menjadi Grand Master, sebuah gelar paling puncak di dunia pecaturan. Walaupun
“Bermain catur itu ibarat perang antar dua kerajaan. Butuh strategi untuk mengalahkannya. Aku ingin seperti Anatoly Karpov (pecatur Rusia) dan Utut Adianto,” ujar Farid. Walaupun suaranya kecil, tapi terdengar kalau ia sungguh-sungguh.

Ok Farid, kita doakan obsesimu tercapai. Agar Dunia tidak memandang sebelah mata akan Indonesia dan mudah-mudahan saat kau pensiun dari caturmu nanti, engkau tidak dilupakan begitu saja oleh Indonesia, seperti nasib atlet Indonesia lainnya. Amin.

Wednesday, June 06, 2007

Oleh2 Vs Cewe

Yang namanya cewe emang doyan banget ama yang namanya shopping. Bukan Cuma itu, cewe juga doyan ama yang namanya beli oleh-oleh. Kebetulan kegemaran itu jadi salah satu khas gue ama temen satu gank (biar kedengeran lebih keren, pake ”k”). Setiap jalan-jalan, wajib bawa oleh-oleh. Meskipun duit dikantong Cuma tinggal seribu pokoknya wajib beli oleh-oleh, permen juga ga apa apa, yang penting oleh-oleh. Kalo jalan-jalan tanpa beli oleh-oleh ibarat sayur asem gak pake garem, begitu katanya. Sebenernya gue paling benci yang namanya bawa-bawa bungkusan. Kalo bisa tas yang dipegang itu Cuma satu, cukup ransel TITIK. Tapi entah kenapa kalau jalan ama temen gank ini, penyakit beli oleh-oleh kadang datang menjalar di tubuh gue(halah, apa sih).
Mengenai oleh-oleh, gue saaluutt ama teman gue Ina namanya. Dia emang ratu oleh-oleh. Ehmm…kalo dia ini walaupun duit lagi cekak, oleh-oleh tetep wajib dibeli (sebenerna semuanya jg sama, Cuma dia yang paling ketara banget). “Nggak enak ntar kalau orang rumah nanya oleh-oleh gimana? Lagian kan mumpung lagi disini, jarang2 lho” begitu katanya.

Bukan Cuma oleh-oleh berjenis makanan, boneka yang nggak penting dibeli aja bakalan di beli ama si Ina ini. Apalagi kalau ngeliat boneka tweety, ampe bela-belain pinjem duit buat ngebeli binatang berkepala aneh itu. Pernah suatu kali kita jalan ke ciater, ampe sana oleh-oleh yang kita bawa (tepatnya Ina) ngelebihin tas yang kita pake. Padahal tuh tas udah ukuran ransel 60 liter (gila kan). Mulai dari alpukat, opak, salak, wayang golek, ampe boneka winny the pooh, dan tweety semuanya dibeli. Padahal waktu itu gue sempet mikir emangnya ini boneka nggak ada yang jual apa ya di serang? Tapi bodo ah, yang penting bawa oleh-oleh.
Kembali ke jalan-jalan. Kurang lebih satu bulan yang lalu kita maen ke Subang. Kali ini yang gandrung ama oleh-oleh bukan lagi Ina tapi temen gue yang satunya Oke (walaupun jabatan Ina sebagai ratu oleh2 tidak dapat disingkirkan). Ketika kendaraan akan keluar Subang kita berhenti buat beli Nanas, konon daerah ini memang terkenal dengan nanas madunya. Jadi kalau gak beli khas daerah sini gak afdol. “Sabaraha iyeu bu?” tanya kita rame2. “Lima belas tilu neng” jawab si Ibu. ”Set awis amat bu, sapuluh tilu nyak. Abdi ngala genep yeuh” kata Oke. Gue pikir enem itu tiga gue trus tiga lagi dia, eh gak tau nya si Oke bener-bener beli enem. Gila banyak banget...
”Lo buat sapa ke? Banyak banget. Teteh lo ngidam? Apa emak lo?” tanya gue.
”Ah mumpung murah, bayangin tadinya lima belas tiga sekarang jadi sepuluh tiga, hebat kan!”
Hah...apa nya yang hebat, pikir gue.
”Lo gak beli Na? Tumben” tanya gue pada Ina.
”Gak ah, gue gak boleh beli nanas. Kata nyokap gue gak baek buat cewe”
Hah..apa lagi ini, tumben-tumben si Ina beli oleh2 pake mikir dulu.
”Ah lo mah gak pernah nonton asal usul sih, percaya gituan”
Akhirnya sembilan nanas berukuran besar-besar masuk bagasi mobil. Tiga punya gue, enam punya Oke.
“Eh, kalo ada ubi cilembu kita berhenti yak. Jangan lupa lho!” seru Oke
”Iya gue juga pengen beli” saut Ina.
“He eh gue juga nih pengen beli,” kata gue. Padahal dalam hati buat apa yak beli ubi cilembu, tapi gak pa pa deh yang penting dibeli dulu.
Gak lama....
Tu tu tuh...ubi nya. Berenti ko! Seru kita bertiga bersamaan
Setelah tawar menawar, didapatlah harga tengah2 kebetulan gue lupa berapa harga jadinya waktu itu. Tapi yang pasti gue beli satu setengah kilo, Oke empat kilo dan Ina tiga kilo plus alpukat dua setengah kilo. Busyettt...
Brukk..oleh-oleh kembali masuk ke bagasi.
Kendaraan pun kembali melaju menuju kota kembang. Ehmm...disana kan gudangnya oleh2. berhenti sejenak di SPBU, bukan buat beli bensin tapi buat ngeluarin bensin (pipis maksudnya heee..), Oke and Ina dah kebelet. Sampai disana pedagang yang jual strawbery bikin gue ngiler. ”Ihh...bagus2 banget sih strawberry nya” seru gue.
Tapi gak ada yang nyautin gue, untung banget si Eko keburu ngusir tu pedagang kalo gak bisa-bisa gue beli buah asem itu juga.
Hal itu sempet gue ceritain ke Oke n Ina. Mereka ketawa2, “untung lo gak beli khe, dah gitu kita lagi pada pipis lagi. Kalo kita ada pasti dibeli tuh, lumayan buat nambahin bawaan” seru Oke.
”Gila udah banyak banget tuh bagasi, lagian kan si Meli dah ngebawain oleh2 juga masa masih kurang juga” kata Eko
”Eh itu mah pemberian, beda donk,” seru Ina.
Huh..dasar…keluh Eko.
Sampai di Bandung, gue ribut ama yang namanya Cimol, Ina ribut ama Ciloknya dan Oke rebut ama bakso cekernya.
“Duh pusing nih, banyak banget sih maunya. Abis ini katanya mau beli peyeum?” kata Hardi.
”Eh salah setelah ini kita beli sepatu dulu, tapi dimana yak?” seru Oke.
”Oh iya gue juga kepengen banget beli sepatu. Yang murah tuh dideket mesjid agung, Cuma gue gak tau deh namanya. Lo tau kan Di?” jawab gue.
“Iya gue pengen beli tas juga buat ngajar, gue dah bosen ama tas yang sering dipake. itu2 mulu” seru Ina.
Arrrgghhhhh….kata Hardi sambil garuk2 kepala.
Sesampainya dipasar kita keliling2, Oke dapet sepatu 2 pasang dan 1 tas. Gue dapet 1 tas (padahal awalnya pengen beli sepatu tapi malah nyasar), trus gak nanggung2 Ina dapet 2 tas.
Brukk…kembali barang bawaan masuk bagasi.

Sekarang tinggal beli peyeum Bandung. Kalo ke Bandung gak beli peyeum berarti gak ke Bandung namanya. Namun kota Bandung udah kita puter2in tetep aja tu peyeum gak nemu juga. Akhirnya pilihan terakhir jatuh di leuwih panjang, kalo diterminal gak mungkin donk gak ada peyeum.
Walapun hujan deres banget tapi tetep kita bela belain, demi beli oleh2 si peyeum. Nyampe diterminal, ujung2 nya bukan Cuma peyeum, tapi keripik tempe yang gak masuk dalam list oleh2 pun ikut dibeli.
“dua kilo yak pa” seru Oke. ”sami pak abdi oge dua kilo” saut Ina. Cuma gue yang gak beli, habis gue lirik dompet kayaknya ngepas banget deh. Ehmm…gak usah aja deh, mendingan gue beli peyeum aja, kata gue dalam ati.
Karna biar keliatan oleh2, peyeum yang seharusnya bisa dimasukkan ke plastik, gue minta ama abang penjualnya buat dibungkus pake keranjang.
“Lo bener2 kayak dari kampung banget sih khe, untung tu keranjang gak diisi ayam jago,” seru Eko.
Hahahaha….spontan semuanya ketawa.
Sialan, piker gue. “eh, biar sekalian kayak dari jalan2 donk, kan nanggung” jawab gue.
Diperjalanan pulang menuju Serang, gue tengaok isi bagasi.
“Busyettt….banyak banget, gimana bawanya yak?”
“Hahaha…baru nyadar lo yak kalo bawaan lo banyak.” jawab Eko sambil cengengesan.
“Yah elu, gue sih sebenernya gak mau bawa2 kayak ginian. Nih gara2 kena sindrom si Ina, maka nya gue jadi beli2 yang gak genah ini”
“eit kok gue yang disalahin sih, udah ga pa pa yang penting orang rumah seneng” saut Ina. Gue liat2 lagi barang bawaan yang gue beli. Gue Cuma bisa geleng2 pala doank. Kok bisa sebanyak ini yak, gak habis pikir deh. Apalagi dua penggila oleh2 itu, Ina n Oke bisa repot banget tuh anak pas pulangnya.
Pokoknya sepanjang perjalanan kita sakit perut Cuma gara2 ngetawain oleh2 yang numpuk dari bagasi ampe kursi belakang.
Dasar cewe, gak bisa liat barang murah. Apalagi kalo nawar trus dia jadi pemenangnya, yang kayak begituan tuh yang jadi kepuasan bagi cewe kalo belanja, betul gak?