MENTERI Pendidikan Nasional Muhammad Nuh membantah ada pencontekan massal dalam ujian nasional sekolah dasar di Gadelsari, Surabaya. Hal itu terlihat dari tidak adanya pola jawaban yang sama pada hasil lembar jawaban pada ujian nasional di sekolah tersebut.
Kita bertanya mengapa Mendiknas sampai perlu menyampaikan hal tersebut? Apakah terungkapnya mencontek massal di sekolah dasar itu sebagai aib bagi Kementerian Pendidikan Nasional? Apakah dengan penegasan tersebut Mendiknas ingin menyampaikan bahwa tidak ada mencontek massal, sehingga tidak ada yang salah dengan ujian nasional dan Kemendiknas sebagai institusi tetap bersih?
Kita menganggap wajar apabila Kemendiknas ingin dianggap sebagai kementerian yang bersih dan tidak ada cela. Di mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kemendiknas merupakan salah satu kementerian yang besar "bocor" dan "boros" dalam penggunaan anggaran. Mendiknas tentu ingin membuat Kementeriannya dikesankan seperti itu.
Namun sebagai seorang pendidik, tentunya sayang jika Mendiknas terperangkap hanya sekadar ukuran formal. Tidak coba meneliti secara mendalam apa yang sebenarnya terjadi di SD Gadelsari dan terjebak dalam persoalan semantik. Apalagi sampai menutup hal yang lebih esensial yakni soal kejujuran.
Apabila kita coba dengar apa yang dialami Alif Achmad Maulana dalam kasus contek-mencontek, memang terlihat adanya langkah sistematis untuk mengajarkan ketidakjujuran kepada anak didik. Bagaimana sudah diatur tata cara untuk membagikan hasil jawaban kepada peserta ujian nasional. Bahkan ditetapkan tempat bagi dilakukannya pertukaran jawaban.
Sebagai anak yang mengerti sesuatu yang tidak benar, tentu saja Alif berontak. Hanya saja sebagai seorang murid ia tidak berani untuk menolak perintah gurunya. Yang ia lakukan adalah mengikuti perintah gurunya, namun jawaban yang ia bagikan tidak seluruhnya tetapi hanya sebagian saja.
Tidak usah heran apabila pola jawaban peserta ujian nasional di sekolah itu tidak juga seragam. Ketidakseragaman jawaban tidak bisa menjadi dasar tidak ada pencontekan yang sistematis. Kalau kita lalu menyangkal adanya pencontekan yang sistematis itu, maka kita sebenarnya sedang menanamkan benih ketidakjujuran kepada anak-anak kita.
Di tengah rendahnya kejujuran pada bangsa ini, seharusnya kita menggunakan tindakan Alif dan kedua orangtuanya Siami dan Widodo untuk mengajarkan nilai kejujuran. Bahwa nilai kejujuran itu tidak harus berkorelasi dengan pendidikan yang tinggi atau jabatan tinggi.
Siami hanyalah orang yang pendidikannya sekolah menengah pertama. Namun ia tahu tentang arti kejujuran. Ia tahu betul bahwa kejujuran itu tidak bisa dikompromikan. Ia siap untuk menghadapi risiko atas prinsip yang ia yakini itu.
Luar biasa apa yang dilakukan Siami dan putranya Alif. Ia tidak goyah meski kemudian harus menghadapi tekanan dari tetangganya. Ia memilih untuk mengungsi ke rumah orangtuanya di Gresik ketika tetangga di sekitarnya tidak bisa menerima sikap tanpa komprominya.
Nilai yang baik ini seharusnya ditularkan ke lebih banyak orang. Terutama para pemimpin negeri ini, bukan hanya memakai apa yang dilakukan Siami dan keluarganya untuk kepentingan politik, tetapi mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Bahwa negeri ini masih memiliki nilai-nilai yang pantas dibanggakan.
Kita percaya bahwa masih banyak Siami-Siami lain di negeri ini. Mereka hanya lebih banyak diam dan tidak muncul ke permukaan. Mereka paham bahwa hidup ini tidak cukup hanya sekadar diisi dengan segala sesuatu yang bersifat materialistis, tetapi ada nilai lain yang bisa memberikan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan materi.
Oleh karena itu kita menyayangkan ketika Mendiknas tidak menggunakan momentum untuk menyebarkan kebaikan. Bukan hanya sekadar menyelamatkan citra diri dan kementeriannya, tetapi melepaskan kesempatan untuk menularkan nilai-nilai kejujuran.
Praktik yang lebih sering muncul ke permukaan adalah sesuatu yang memprihatinkan. Banyak pejabat dan anggota legislatif yang tidak memperdulikan nilai dan kejujuran untuk mengejar kehidupan yang mereka anggap sebagai kenikmatan. Mereka bahkan menjual integritas diri hanya sekadar untuk bisa kaya.
Yang lebih memprihatinkan lagi mereka tidak mau mempertanggungjawabkan kerusakan yang telah diperbuat kepada negeri. Mereka kabur ke luar negeri setelah mencari uang dari rakyat banyak. Hidup bersenang-senang di atas penderitaan jutaan rakyat miskin yang tidak tersentuh pembangunan karena anggaran belanja negara yang terlanjur dikorupsi.
Bangsa ini merindukan kembali kehidupan yang lebih beradab dan bermartabat. Kita rindu kembalinya nilai-nilai kehidupan yang baik. Kita tidak hanya disandera oleh tujuan yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekayaan. Siami dan keluarga merupakan simbol dari sebuah kejujuran, simbol dari sebuah kebersahajaan. sumber:www.metrotvnews.com. Jumat, 17 Juni 2011 19:11 WIB
1 comment:
contoh dong si Amek yg belajar untuk jujur. Katanya: "Sekali berbohong - maka akan sering berbohong" *Film Serdadu Kumbang*
Post a Comment