Lama aku tunggu, akhirnya datang juga. Untuk ukuran pria remaja dia termasuk tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu besar. Mungkin sekitar 40 kg. Dari pakaiannya ia kelihatan biasa saja, hanya kaos oblong berkerah dengan celana jeans dan sandal jepit. Jerawat mini di mukanya menandakan kalau ia sudah menanjak remaja, namun tetap terlihat menarik. Ia berjalan bersama seorang pria, dari perawakannya mungkin ia berumur 40 tahunan. Rambut gondrong, dengan celana panjang belel serta kaos oblong yang sama-sama belel. Memperlihatkan kalau ia berasal dari golongan yang sangat biasa. Bukan orang kantoran, juga bukan orang berada, karena tubuhnya pun tidak kelihatan terurus.
“Maaf mba lama menunggu. Saya Farid,” seru pria remaja itu.
Segera aku berdiri dari tempat duduk dan menjabat tangannya dengan erat. Kata nenek, kalau bersalaman dengan orang harus erat dan tegas, itu menandakan juga karakter orang dan keseriusan kita.
“Aku Rieke. Tidak apa-apa, Aku yang salah karena datang terlalu cepat,” ucapku.
“Aku tinggal ya mba, mau jaga warung lagi,” seru pria yang bersama Farid.
"Ok terimakasih banyak pak," jawabku
Ternyata pria yang bersamanya itu adalah Abrori, ayah Farid. Sehari-hari ia menjaga kios rokoknya didepan sekolah Farid. Tidak, terlalu bagus untuk disebut kios, mungkin lebih tepat kalau dibilang warung kecil.
Aku dan Farid segera mencari tempat. Ya, kedatanganku ke Bekasi hari itu adalah untuk mewawancari Farid, sang juara catur dunia untuk kelompok umur 15 tahun di Yunani Mei lalu.
Farid pun bercerita akan kemenangannya di Yunani sana. Dengan nilai nyaris sempurna 8,5 dari 9 permainan membuat Indonesia bangga mempunyai putra yang amat pintar di olah raga berfikir itu. Mengalahkan pecatur Rusia dan Turki. Sungguh mengagumkan. Remaja bernama lengkap Farid Firman Syah ini belum genap umurnya 14 tahun, namun rekornya menjuarai berbagai perlombaan catur sudah seabreg-abreg. Dia bukan orang kaya, dia hanya orang biasa. Dia juga tahu catur bukan dari sekolah catur, walaupun akhirnya ia pun disekolahkan di sekolah catur ternama SCUA. Dia tahu catur dari ayahnya yang setiap malam sering bermain catur dengan teman-temannya. Hingga akhirnya ia tahu langkah-langkah si biji catur itu, sang ayah memasukkannya di SCUA tempat biasa ia berjualan rokok. Walaupun demikian Amaroh (sang ibu) harus menyisihkan 75 ribu setiap bulannya dari penghasilan yang tidak seberapa itu untuk biaya sekolah Farid. Nilai yang lumayan besar bagi mereka, namun tekad Farid ingin belajar catur membuat Abrori dan Amaroh berjuang keras untuknya.
Ajaib! Hanya 3 bulan Farid bersekolah, ia sudah bisa mengikuti perlombaan catur antar pelajar di Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, juara I pun di sabetnya. Saat itu Farid belum genap berumur 9 tahun.
“Aku ingin bantu Ibu dan Ayah. Aku ingin seperti pecatur Susanto yang dapat membeli mobil dari hasil catur,” seru Farid.
Sungguh keinginan yang luar biasa. Sadar dengan keadaannya, Farid merasa harus membantu kedua orangtuanya. Dengan motivasi inilah, akhirnya ia berhasil mensabet seluruh perlombaan catur lainnya. Hingga kini ia mendapat gelar master nasional. Walaupun saat ini dia mendapat gelar grand master untuk tingkat junior, namun ia merasa tidak harus belajar sampai disitu. Kini, obsesinya ingin menjadi Grand Master, sebuah gelar paling puncak di dunia pecaturan. Walaupun
“Bermain catur itu ibarat perang antar dua kerajaan. Butuh strategi untuk mengalahkannya. Aku ingin seperti Anatoly Karpov (pecatur Rusia) dan Utut Adianto,” ujar Farid. Walaupun suaranya kecil, tapi terdengar kalau ia sungguh-sungguh.
Ok Farid, kita doakan obsesimu tercapai. Agar Dunia tidak memandang sebelah mata akan Indonesia dan mudah-mudahan saat kau pensiun dari caturmu nanti, engkau tidak dilupakan begitu saja oleh Indonesia, seperti nasib atlet Indonesia lainnya. Amin.
No comments:
Post a Comment