Wednesday, July 25, 2007

Preman Masuk Kampus

Beberapa hari ini pers mahasiswa Teknokra Unila (organisasi yang pernah aku geluti 4 tahun) diserang oleh beberapa oknum dari mahasiswa yang berubah menjadi preman kampus. lagi! kekerasan terhadap pers terjadi.
langsung saja, seluruh alumni Teknokra (termasuk saya) jengkel, maral, kesal dll mendengarnya. cuma satu kata,LAWAN!
salah satu bentuk perlawanan alumni adalah dengan memberitakan peristiwa kekerasan tersebut.
berikut berita yang ditulis oleh salah seorang alumni kami,
Budisantoso Budiman/ANTARA Lampung

GARA-GARA BERITA, SKM "TEKNOKRA" DIANCAM OKNUM
MAHASISWA FKIP UNILA
Bandarlampung, 24/7 (ANTARA) - Gara-gara
pemberitaan tentang pengutipan "uang parkir" tidak
resmi oleh petugas Satuan Pengamanan (Satpam) di salah
satu fakultas di lingkungan Universitas Lampung
(Unila), pengelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM)
Teknokra malah mendapatkan ancaman dan perlakuan buruk
dari sejumlah oknum mahasiswa fakultas itu.

Informasi yang diperoleh ANTARA Bandarlampung,
Selasa, menyebutkan, aksi menjurus pada premanisme di
Kampus Unila itu justru terjadi pada saat PTN umum
terbesar di Lampung itu menjadi tuan rumah Pekan
Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-20 (17-22/7)
lalu.

Pimpinan Umum SKM Teknokra, Taufik Jamil
Alfarau membenarkan kejadian pada Kamis (19/7), saat
SKM Teknokra di kantornya di Pusat Kegiatan Mahasiswa
(PKM) Unila, kedatangan "tamu" dari Unit Kegiatan
Mahasiswa Fakultas (UKMF) Kelompok Studi Seni (KSS)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila.

Mereka datang atas keberatan terhadap
pemberitaan yang pernah dimuat "Teknokra News" Edisi
86 yang berjudul "Satpam FKIP "Panen" Uang Parkir".

Namun, kedatangan mereka tersebut dilakukan
tidak dengan santun. Salah satu diantara oknum
mahasiswa dari UKMF KSS itu mengancam dengan
mengacungkan senjata tajam (badik) kepada pengurus
Teknokra yang ada di sekretariatnya.

Taufik menuturkan, setelah kedua tamu
mahasiswa FKIP Unila itu dipersilakan masuk, tak lama
kemudian sekitar tujuh orang mahasiswa lainnya
tiba-tiba masuk ke ruangan tanpa permisi.

Mereka kemudian mengambil posisi duduk di
sofa, salah satu dari mereka langsung mengatakan
maksud dan tujuan kedatangan dengan nada tinggi, yang
menuding SKM Teknokra melalui pemberitaan itu mau
mengadu domba mereka dengan Satpam di fakultasnya.

Para oknum mahasiswa itu bahkan secara
emosional, menunjukkan pula berita yang dipersoalkan.

Suasana pun menjadi panas, walaupun Taufik
kemudian berusaha untuk menenangkan dan memberi
penjelasan kepada mereka. Namun, mereka tetap tidak
terima dengan penjelasan itu dan memaki-maki dia
dengan kata-kata kotor dan cabul.

Kendati terus mencoba menenangkan dan memberi
penjelasan bahwa Teknokra tidak bermaksud
menjelek-jelekkan KSS, maupun Satpam atau mengadu
domba diantara keduanya.

Kepada para mahasiswa itu, Taufik mengatakan,
berita itu merupakan hasil wawancara dan isinya tidak
terdapat kata-kata yang menjelek-jelekkan kedua belah
pihak.

Tapi penjelasan itu tidak membuat mereka
mengerti, bahkan emosi mereka semakin menjadi, dan
mereka serentak berdiri seraya menunjuk-nunjuk serta
mengeluarkan kata-kata kotor dan cabul.

Salah satu diantara mereka bahkan ada yang
mencabut senjata tajam berjenis badik dari pinggang
dan mengacung-acungkan di depan muka Taufik.

Walaupun mundur karena melihat situasi tidak
bisa terkendali, mereka kemudian naik ke atas sofa,
dan salah satu mahasiswa itu memukul dada serta pipi
sebelah kiri Taufik disaksikan yang lainnya.

"Kami tetap mencoba menghindari kontak fisik,
bukan karena takut tetapi tidak mau membuat nama Unila
tercemar karena adanya perkelahian, mengingat sekarang
sedang ada Pimnas ke-20. Walaupun kawan-kawan di
Teknokra itu sempat terpancing emosi dan akan melawan,
tapi saya menghalang-halangi, " urai Taufik pula.

Salah satu dari oknum mahasiswa itu, juga
mencoba untuk menenangkan teman-temannya yang sudah
emosi dan mengajak keluar Sekretariat Teknokra,
walaupun salah satu diantara mereka keluar sembari
melampiaskan kekesalannya dengan menendang daun pintu,
menggebrak meja serta membanting vas bunga milik
Teknokra.

Menurut Taufik, setelah kejadian itu, sejumlah
pihak atasnama mahasiswa itu berupaya untuk bertemu
dan mengajak "damai".

Sejumlah alumni Unila yang pernah aktif di SKM
Teknokra yang mengetahui peristiwa "penyerangan dan
pengancaman" itu, justru mendesak agar kasus tersebut
diproses hukum dengan diadukan kepada polisi, sehingga
oknum mahasiswa FKIP Unila yang mengancam dihukum
sesuai kesalahannya.

Salah satu dosen Fakultas Hukum Unila, Dr Eddy
Rifai bahkan mengaku siap mendampingi para aktivis
pers mahasiswa Teknokra itu, untuk menindaklanjuti
kasus pengancaman terhadap institusi pers kampus itu
kepada aparat penegak hukum.

"Jangan pernah membiarkan tindakan anarkis dan
sewenang-wenang terjadi dialami kawan-kawan pers
mahasiswa, apalagi pelakunya oknum mahasiswa di kampus
sendiri," ujar salah satu kandidat yang lolos nominasi
Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu
pula.

Sejumlah alumni Unila yang pernah aktif di SKM
Teknokra lainnya, juga mendesak agar pihak Rektorat
dan Dekan FKIP Unila segera memproses dan
menyelesaikan kasus tersebut.

"Tidak cukup dengan minta maaf dan berdamai,
kalau dibiarkan tanpa tindakan hukum yang tegas akan
menjadi preseden buruk bagi SKM Teknokra dan pers
mahasiswa lainnya,' kata salah satu alumni itu pula.

Juwendra Asdiansyah, alumni SKM Teknokra yang
juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung
juga mengecam keras tindakan oknum mahasiswa FKIP
Unila kepada Pengurus SKM Teknokra itu.

Menurut dia, seharusnya mekanisme hak jawab
dan cara-cara menyelesaikan masalah berkaitan dengan
keberataan sebuah pemberitaan tidak dilakukan dengan
cara yang anarkis dan cenderung premanisme seperti
itu. Apalagi di lingkungan kampus yang semestinya
lebih mengedepankan sikap santun, rasional dan cerdas.

Diselesaikan Kekeluargaan
Namun Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila
(PR III), Drs M Thoha BS Jaya MS menilai, persoalan
itu adalah internal Unila yang masih bisa diselesaikan
secara baik-baik dan dengan kekeluargaan oleh pihak
Unila sendiri serta tidak perlu sampai dibawa ke
polisi.

Thoha menegaskan, telah minta Pembantu Dekan
Bidang Kemahasiswaan FKIP Unila untuk segera
mempertemukan kedua pihak lebih dulu, untuk kemudian
diajak bertemu langsung dengan dirinya.

"Kebetulan dua hari ini saya masih tugas di
Jakarta, tapi setelah kembali akan segera
mempertemukan mereka untuk menyelesaikannya dengan
baik-baik," kata Thoha lagi.

Thoha berpendapat, insiden itu adalah
persoalan internal yang dapat diselesaikan secara
kekeluargaan di Unila sendiri. Apalagi tidak ada yang
korban sampai terluka atau akibat buruk lainnya.

Tapi dia juga berjanji, tidak akan membiarkan
adanya oknum mahasiswa yang berbuat anarkis dan
cenderung berlaku preman di lingkungan kampusnya
sendiri.

Kendati begitu, Thoha belum dapat memastikan
kemungkinan memberikan sanksi kepada mahasiswa FKIP
yang terbukti melakukan tindakan pengancaman dengan
senjata tajam dan perbuatan tidak menyenangkan lainnya
kepada crew SMK Teknokra itu.

Pimpinan Umum SKM Teknokra dan Pengurus surat
kabar mahasiswa yang tetap eksis di Indonesia itu,
juga mengharapkan persoalan tersebut masih bisa
diselesaikan secara baik-baik dan damai mengingat
pelakunya adalah juga mahasiswa di kampus mereka.

Tapi mereka mengharapkan, tidak ada lagi
tindakan kekerasan, intimidasi apalagi pengancaman
terhadap pers mahasiswa terjadi di Unila hanya karena
keberatan dengan pemberitaan seperti itu.

Tuesday, July 17, 2007

Gede


Jadi kapan? Gimana kalau jumat besok?
Ok, jadiin ya!
Kurang lebih begitu bunyi sms ku dengan dede. Sebenernya perjalanan gue ama temen-temen (Yudi, Dede, and Brang) ke Gunung Gede yang tingginya 2900an itu sulit buat gue ceritain lewat tulisan, bener-bener seru. Cuma bedanya pendakian kita kali ini nggak pake acara nyasar kayak di PS (piss…)

Rencananya emang udah lama, namun sayangnya sering banget ketunda. Ada-ada aja halangannya. Emang kalo direncanain pasti kebanyakan gagalnya ketimbang dadakan. Awalnya ada dua cewe yang bakal nemenin gue, tapi satu hari menjelang hari H keduanya gagal karena yang satu nungguin pengumuman dan satu lagi sedang ada kerjaan. Alhasil, lagi-lagi gue kembali menjadi manusia paling cantiq, like usual.

Gak banyak yang gue persiapin, hanya beberapa helai pakaian dengan perangkatnya, handuk kecil, jaket, kaos kaki cadangan, alat cantique (baby cologe, baby powder, facial wash, toot brush, pasta), makanan (mie, mie and mie ), and of course wet tissue (buat pup).
***
Hari ke 22 dibulan Juni 2007 pukul 1 siang. Kalau di Jakarta pasti lagi panas-panasnya, tapi disini kayak udah sore. Bahkan udara disini udah buat tubuh gue menggigil. Puncak Gede dan Pangrango dikelilingi kabut tebal, seolah-olah meledek ledek minta didaki.
“Liat aja lo, besok pasti gue injek-injek”
Ya…itulah Cibodas. Kita tiba di Green Ranger dengan selamat. Disini kita disambut oleh mamah Tiara. Mungkin kalau di PS (baca: April-PS) mamah seperti emak, Cuma bedanya kalau si Mamah jualan peralatan gunung, tapi kalau si emak jualan pisang molen.

Pukul 10 malam kita mulai naek. Kalo di PS kita hanya bermodalkan lighting senter korek api gas, kali ini kita lebih prepare. Masing-masing dari kita memegang senter. Jadi lighting tidak ada masalah.

“Bro kita free talk dulu yuk..” ajak gue sambil ngos-ngosan. Free talk adalah istilah kita untuk istirahat dan berbicang-bincang sejenak.
Tempat kita free talk pertama adalah di Telaga Biru, disini kita bukan hanya free talk tapi ada acara rebus air dan makan mie segala (dasar…). Bahkan Dede sempat tertidur dulu. Padahal perjalanan baru aja dimulai.
“Nyantai aja kan, kita nggak buru-buru,” celetuk Dede sambil merebahkan badannya, dan nggak lama dengkurannya pun udah kedengeran.

Pukul 1 dini hari perjalanan kita lanjutkan, rencana kita akan ngecamp di Kandang Badak, atau minimal di Kandang Batu.
“Pokoknya nyantai aja, kalau capek ya kita gelar tenda, oke. Kita gak ada target kan?” seru iduy.
Siippp…seru kita.
Namun sayangnya perjalanan sampai air panas saja belum sampai tapi kaki ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Kita pun gelar tenda. Kira-kira pukul 8 pagi kita bangun, namun segera digegerkan dengan hilangnya sepatu Boogie milik Iduy.
“Yah trus gue naek pake apa dong? Masa nyeker? Mana masih jauh lagi!” serunya
“Kita hubungin Green Ranger aja. Sapa tau bisa kena periksa di bawah,” kata gue.
Sambil mengutuk-ngutuk si maling, kita beres-beres tenda sekaligus Iduy mencari-cari sinyal. Si sampah teknologi itu kini benar-benar menjadi “sampah” di gunung seperti ini.
Ternyata bukan hanya sepatu saja yang kena sabet, gak tanggung-tanggung, kaos kaki Iduy pun di babat si Maling. “Padahal yang penting tuh kaos kakinya. Baru aja gue beli,” gerutu Iduy. Kedengeran sekali kalau kata-kata itu menyenangkan hatinya sendiri. Padahal sudah jelas-jelas yang lebih penting ya sepatunya.
Iduy pun naek pakai sandal jepit “tulang ikannya” milik Dede. Gak bisa gue bayangin sakitnya kena batu-batu tuh kaki, karena sendal jepit milik Dede benar-benar mirip “tulang ikan” saking tipisnya terkikis.

Setelah melewati air panas dan kandang batu, akhirnya tiba juga di Kandang Badak. Kelihatannya lebih dari lima belas tenda ngecamp disana. Disana kita berkenalan dengan pendaki asal Jakarta, mereka adalah Ipul, Asep, and Doger (namanya lucu2 ya). Mereka mau naek ke puncak Gede, tapi langsung turun lagi. wuih..hebat juga nih bocah, pikir gue. Rencana kita yang awalnya juga akan ngecamp di puncak gede, lagi-lagi di cancel. Kaki udah nggak bisa diajak kompromi lagi. kembali, tenda pun digelar.
“Kita ngecamp disini aja yak. Besok kita ke Pangrango trus turun lalu kita ke Gede. Bagaimana?” ajak Dede.
“Okeh gak masalah. Iya kan khe?” jawab Iduy.
Ya..ya..ya…
Rencana yang perfect. Cuma apa iya bisa naek turun puncak segitu cepetnya? Tapi lihat besok ajalah, pikir gue.
Brang, seksi peralatan dan perlengkapan segera menggelar tenda. Tuh bocah emang doyan banget bongkar pasang tenda. Badannya bener-bener kuat, maklum gunung Gede mungkin bagi dia ngga seberapa. Karena beberapa bulan sebelumnya dia bersama 5 orang pendaki lainnya baru aja mendaki gunung Cartenz di Jayapura sana, ck..ck…ck…

Sore disana emang dingin banget. Untung si Brang ama Iduy buat minuman. Lumayan, bisa buat badan sedikit hangat. Dibawah tenda kita berdiri, ada 2 tenda yang lumayan gede. Satu tenda sama kayak kita punya, satu lagi mirip tenda pramuka. Panjang dan lebar...
Sebagian besar isinya awewe (alias cewe), mungkin cowoknya hanya dua atau tiga orang dan sebagian besar dari mereka turunan China. Kerja mereka masak…masak dan masak. Habis dari obrolannya yang kedengeran sampai ke kita Cuma makanan terus, hehehe….bikin ngiri karena kita Cuma bisa masak mie, kerupuk dan sarden oh iya gak lupa ikan asin bawaannya Iduy.

Disini nggak buat api unggun seperti di PS. Maklum, hutan di Gede termasuk yang dilindungi. Jadi kita maen api kecil-kecilan buatan Iduy, sedang si Brang selalu asik dengan nestingnya. Gak pa pa, dari pada gak ada kerjaan, jadi ngerebusin air terus. Si Dede mana yak? Oh iya, selesai makan dia langsung masuk ke sleepingbag ¬nya, tuh bocah emang kalo digunung ketauan sifat ASLI nya. MALES!!

Sekitar pukul 8-an, tiga orang pendaki Jakarta yang gue certain diatas tadi turun dari puncak Gede.
“Assalamualaikum…” entah seru siapa, karena gelap gue gak bisa lihat muka mereka satu-satu.
“Walaikumsalam..” jawab kita sama-sama.
“Wah udah turun. Yuk kita ngopi2 dulu, nih ada kopi lampung. Ngicipin…hehhee,” seru Iduy.
Kita pun bercakap-cakap. Sampai akhirnya gue dah gak tahan lagi ama angin yang “nampar2” muka. Gue masuk tenda, kemudian masuk ke sleepingbag. Kalau dipikir2 badan gue udah kayak ulet aja masuk ke sleepingbag, yang keliatan Cuma muka doank :D
Emang temen2 gue ini baek, mereka tau kalau gue gak bakalan bawa peralatan gunung sebagai mana mestinya. Jadi gue dipinjemin jaket anti angin, sarung tangan, sleepingbag ampe kaos kaki. Tapi tunggu dulu, kaos kaki gue bawa sendiri. Gue gak mau bau favorit gue bercampur dengan bau mereka heheheh…(piss guy).

Ada tiga sleepingbag. Satu dipakai Dede, satu dipakai gue dan satu lagi dipakai Brang, sedang Iduy dia pakai jaket super tebel yang ketebalannya sama aja kayak sleepingbag.

Sepertinya ketiga anak Jakarta itu ngecamp di Kandang Badak. Cuma mereka pakai apa? Gue gak abis pikir. Setelah gue lihat pagi-pagi, ternyata mereka tidur Cuma ditutupin terpal warna hitam, dengan alas karpet.
“Hah! Jadi tadi malam kalian minep disini? Dengan beginian nih? Gila…bener2 gila,” seru gue pada mereka.
Hehehhe….jawab mereka
Yah..dia malah ketawa. Bukannya mikir, pikir gue dalam ati.

Setelah makan pagi, kita semua beres2. rencana kita selanjutnya naek ke puncak gede lalu ke surya kencana (lihat edelwis) kemudian turun ke Cibodas. Sedang, rencana tiga orang Jakarta itu ya langsung turun. Karena sebenernya mereka tidak ijin untuk menginap melainkan hanya ke air terjun Cibeureum. Dasar…
Tapi tunggu dulu, sebelum menjalankan rencana kita masing-masing kita mengabadikan moment terlebih dahulu, tidak lupa kita pun bertukaran email dan nomor telepon (sebenernya yang ngasih nomor telepon Cuma gue doang sih, hehehe...)
“Pakai cariel nya dong, biar gaya,” seru iduy.
Halah…
123…Cheerrr….

Selanjutnya kita berpisah dan melanjutkan perjalanan masing2. Dua jam lebih lebih perjalanan menuju puncak. Ditengah jalan kita ketemu bule, gila langkahnya panjang2 banget. Wajar aja kalau dia nyampe duluan. “Kalian baru sampai? Wah kalian naik escalator lambat ya,” begitu katanya saat berpapasan kita di puncak.
“Ya iyalah situ enak kakinya panjang, nah kite?,” tapi gue jawabnya dalam ati hehehe…
Waktu perjalanan naek ke puncak, kita ngelewatin tebing yang lumayan curam dan lumayan tinggi. Walaupun disediain tali buat manjat, tetep aja bikin jantung gue ketar ketir.
“Khe bisa ngga? pegangan gue aja!” seru Brang. Walaupun dia bawa cariel paling gede, tapi kayak nggak ada beban sama sekali. Beda ama gue. Padahal tas gue udah dibawain ama Iduy, tapi tetep aja ngerasa berat. Duh kalau begini, gue ngerasa badan gue ‘ndut banget, kalau kurusan enak banget kali yak 
Setelah melewati tebing curam itu tak lupa foto-foto, teteeppp….habisnya pemandangannya indah banget. Maklum jarang-jarang ngeliat gunung dari deket, jadi keliatan norak yak :D
Belum lagi pas nyampe puncak. Gak ada abisnya moto-motoin pemandangan. Kalau selama ini kita ngeliat awan keatas, kali ini kita ngeliat awan kebawah. Kita bener-bener ada dipaling atas puncak gunung. Busyeettt...cantik banget

Kita sampai di puncak pukul 12-an siang. Setelah foto-foto, kita istirahat sebentar sambil masak mie (lagi-lagi..) karena emang Cuma mie yang tersisa.
“Gila bagus bangett..khe mau ikut gue gak foto-foto?” ajak Dede.
“Gak ah, udah cukup. Kaki gue pegel banget. Pengen ngaso dulu bentar,” jawab gue. Rasa-rasanya udah gak sanggup lagi gue jalan. Capek banget. Bahkan Iduy dan Brang sempet tidur dulu.

Jam 3 kita kembali turun. Rencana ke Surya Kencana gagal. Selain karena waktu, gw juga ogah. Sebenernya kepengen banget Cuma kaki gw juga ogah buat diajak jalan lagi. Giliran melewati tebing curam yang tadi kita naikin. Lagi-lagi dengan bantuan si Brang gue bisa ngelewatin semua itu dengan deg-degan. Dede udah sampai di bawah duluan. Dia moto-motin kita yang lagi susah payah turun pas ditebing tadi, jadi kita nurunin tebing itu pake gaya, dasar…
“Kayaknya kita mesti minep semalam lagi deh. Gimana kalau pulangnya besok? Kita pasti kemaleman di jalan. Sekarang aja udah sore, gimana De?” ujar Iduy tiba-tiba.
“Iya juga. Gw sih hayo aja. Lu gimana khe?” jawab Dede. (Kalau Brang nggak sudah ditanya. Kalau dia sih berharap lama-lama di gunung, emang udah jadi orang gunung. Mukanya aja mirip yang hidup di gunung) hihihi…piss.

Hah? Minep lagi? Besok kan senen. Trus gawe gue gimana? Emang sih deadline dah selesai. Cuma kan gue baru dua bulan gawe, masa dah semau-mau masuk? Tapi gue juga pasti gak mungkin bisa masuk besok kalau begini. Setelah dipikir-pikir bener juga kata mereka. Sampai di kandang badak aja mungkin jam 5-an, belum turunnya pasti mesti butuh waktu 5 jam-an. Gue juga ogah ngelewatin air panas malem-malem, kalau kepeleset gimana? Wahh…ntar dulu deh.
“Gimana yak? Bener sih. Ya udah deh…tapi gue musti butuh sinyal buat hubungin temen. Orang2 pasti nyariin gue! Tapi logistic kita gimana? Dah nggak ada lagi?”
“Masih kok kalo buat sekali lagi. Ya udah lu ketik sms aja dulu. Ntar pas dapet sinyal langsung lu kirim,” kata Iduy.

Sesampainya di Kandang Badak. yang lain sibuk diriin tenda, gue sibuk nyari sinyal. Tapi tetep aja si 'sampah' ini nggak ngebantu gue. Eitt..tunggu dulu, yang sibuk buat tenda Cuma Iduy and Brang, karena Dede seperti biasa…memperlihatkan sifat aslinya. TIDURAN! Dasar…
Waktu itu Cuma sedikit yang ngecamp di Kadang Badak. Kalau nggak salah Cuma ada 5 tenda, salah satunya ada yang dari Tangerang (3 cowo 1 cewe). Terakhir gue tahu cewe itu Vera, asalnya dari Lampung, lainnya gue lupa.

Besok paginya, pukul 8 kita mulai turun. Pendaki asal Tangerang itu berencana naek ke puncak. Sedangkan kita langsung turun, dan tak lupa foto dulu. Pas turun kaki gue sempet kesandung batu, dan hasilnya lumayan buat lutut gue ungu (sakit juga sih).

Sesampainya di Cibodas kita mampir ke Green Ranger kembali. Baru setelah kita makan dan bersih-bersih badan kita berpamitan dengan Mamah dan suaminya Bang Idhat (maaf kalau tulisannya salah ya bang).

Pukul 2 siang kita mulai turun. Puncak masih macet, maklum hari itu pertama liburan anak sekolah jadi termasuk lama juga didalam bus menuju kampung rambutan. Untung sampai di Taman Safari gue bisa dapet tempat duduk, tapi sayangnya Dede terpaksa berdiri. Dia nggak kebagian tempat.
Sampai di Kampung Rambutan kita naek bus way. Selain murah, bisa langsung depan kosan. Karena kosan gue deket dengan shelter Benhil. Tapi Iduy kepengen ketemu temannya dulu (EB namanya). Jadi sebelum sempet nyampe shelter Benhil kita turun di Manggarai. Belum lama nunggu di depan Pasar Raya, EB datang dengan temannya. Kita pun mampir ke kontrakannya sebentar lalu makan di TIM. Baru setelahnya sekitar pukul 11 malam gue balik kekosan, diantar oleh mereka.

Huh…perjalanan yang sangat panjang dan kaki gue seperti mati rasa. Capek banget!!
Tapi its ok, tiga hari full adventure. Capek gue ngga seberapa dibandingin ama pengalamannya. Karena belum tentu dalam waktu deket bisa seperti itu lagi. Kalau Dede bilang, dia bakalan ke Gede lagi bukan ngajak gue (karna bosen) tapi dengan sang istri (buat honey moon), hahaha….begitu katanya.
“Emang lo bisa diriin tenda De?” seru gue sambil ketawa waktu dia bicara gitu.
“Sialan lo. Ya bisa lah..” jawab dia.
“Becanda De…gue tunggu kabarnya aja, ok Bro” .
Kali ini foto hasil jepretan kita lumayan banyak yang bagus2, nggak kayak waktu di PS dulu. Bener-bener...

Thursday, July 12, 2007

Belajar berkeluarga...

Memang benar yak kalau menikah, trus punya anak lalu hubungan suami istri bisa jadi tidak mesra?
Kaget! Itu yang aku lakukan ketika si bos menyuruhku memberikan tema untuk bulan ini.
“Jadi suami istri itu kalau sudah punya anak…Bla…bla….bla…. kamu paham kan Khe?” katanya.
Ups. Apapula ini. Paham sih, tapi emang iya ya? Duh gak habis pikir.
Ini adalah tugas ketiga ku menulis tentang keluarga. Macam-macam saja tema yang diambil. Maklum, secara aku belum mengerti dengan segala hal yang berhubungan tentang keluarga, wong kepikiran untuk menikah saja belum, malah disuruh menulis hal-hal kayak begonoan.
“Kamu kan bisa konsultasi gratis khe dengan para psikolog itu. lumayan buat kamu belajar nanti,” begitu kata si bos. Kalimat pemotivasi diriku. Awalnya aku ogah-ogahan menulis tulisan keluarga ini, tapi setelah dipikir-pikir….
ehmm boleh juga untuk pembelajaran, hehehe…

Bulan lalu aku disuruh membuat tulisan tentang suami istri yang berkonflik tapi mereka tetep tinggal satu atap. Awalnya aku nggak percaya ada pasangan yang seperti itu, karena dipikiran ku, kalau dah nggak cocok ngapain dipaksain. Hehehe…pikiran bocah
Ternyata kalau sudah berumah tangga itu banyak hal yang bisa buat jadi konflik. Jangan berbicara tentang perselingkuhan deh, karena kalau itu sudah biasa. Lihat saja berita infotaiment, banyak artis yang kawin cerai gara-gara salah satu pasangannya selingkuh. Tapi ternyata hal kecil seperti anak pun bisa menjadi hal pemicu untuk cerai. Sepele memang kelihatannya tapi begitulah kenyataan. Bahkan dengan tetangga pun kita perlu berhati-hati. Neighbour, friends or foe? Begitu aku kasih judul pada tulisanku yang pertama. Ternyata tetangga bisa membuat pola asuh sebuah rumahtangga menjadi berubah, bahkan pengaruhnya sangat besar. Wah..wah…begitu yak.

Tuesday, July 10, 2007

Sang Juara Itu.....

Lama aku tunggu, akhirnya datang juga. Untuk ukuran pria remaja dia termasuk tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu besar. Mungkin sekitar 40 kg. Dari pakaiannya ia kelihatan biasa saja, hanya kaos oblong berkerah dengan celana jeans dan sandal jepit. Jerawat mini di mukanya menandakan kalau ia sudah menanjak remaja, namun tetap terlihat menarik. Ia berjalan bersama seorang pria, dari perawakannya mungkin ia berumur 40 tahunan. Rambut gondrong, dengan celana panjang belel serta kaos oblong yang sama-sama belel. Memperlihatkan kalau ia berasal dari golongan yang sangat biasa. Bukan orang kantoran, juga bukan orang berada, karena tubuhnya pun tidak kelihatan terurus.
“Maaf mba lama menunggu. Saya Farid,” seru pria remaja itu.
Segera aku berdiri dari tempat duduk dan menjabat tangannya dengan erat. Kata nenek, kalau bersalaman dengan orang harus erat dan tegas, itu menandakan juga karakter orang dan keseriusan kita.
“Aku Rieke. Tidak apa-apa, Aku yang salah karena datang terlalu cepat,” ucapku.
“Aku tinggal ya mba, mau jaga warung lagi,” seru pria yang bersama Farid.
"Ok terimakasih banyak pak," jawabku

Ternyata pria yang bersamanya itu adalah Abrori, ayah Farid. Sehari-hari ia menjaga kios rokoknya didepan sekolah Farid. Tidak, terlalu bagus untuk disebut kios, mungkin lebih tepat kalau dibilang warung kecil.
Aku dan Farid segera mencari tempat. Ya, kedatanganku ke Bekasi hari itu adalah untuk mewawancari Farid, sang juara catur dunia untuk kelompok umur 15 tahun di Yunani Mei lalu.
Farid pun bercerita akan kemenangannya di Yunani sana. Dengan nilai nyaris sempurna 8,5 dari 9 permainan membuat Indonesia bangga mempunyai putra yang amat pintar di olah raga berfikir itu. Mengalahkan pecatur Rusia dan Turki. Sungguh mengagumkan. Remaja bernama lengkap Farid Firman Syah ini belum genap umurnya 14 tahun, namun rekornya menjuarai berbagai perlombaan catur sudah seabreg-abreg. Dia bukan orang kaya, dia hanya orang biasa. Dia juga tahu catur bukan dari sekolah catur, walaupun akhirnya ia pun disekolahkan di sekolah catur ternama SCUA. Dia tahu catur dari ayahnya yang setiap malam sering bermain catur dengan teman-temannya. Hingga akhirnya ia tahu langkah-langkah si biji catur itu, sang ayah memasukkannya di SCUA tempat biasa ia berjualan rokok. Walaupun demikian Amaroh (sang ibu) harus menyisihkan 75 ribu setiap bulannya dari penghasilan yang tidak seberapa itu untuk biaya sekolah Farid. Nilai yang lumayan besar bagi mereka, namun tekad Farid ingin belajar catur membuat Abrori dan Amaroh berjuang keras untuknya.

Ajaib! Hanya 3 bulan Farid bersekolah, ia sudah bisa mengikuti perlombaan catur antar pelajar di Bandung, dan tidak tanggung-tanggung, juara I pun di sabetnya. Saat itu Farid belum genap berumur 9 tahun.
“Aku ingin bantu Ibu dan Ayah. Aku ingin seperti pecatur Susanto yang dapat membeli mobil dari hasil catur,” seru Farid.
Sungguh keinginan yang luar biasa. Sadar dengan keadaannya, Farid merasa harus membantu kedua orangtuanya. Dengan motivasi inilah, akhirnya ia berhasil mensabet seluruh perlombaan catur lainnya. Hingga kini ia mendapat gelar master nasional. Walaupun saat ini dia mendapat gelar grand master untuk tingkat junior, namun ia merasa tidak harus belajar sampai disitu. Kini, obsesinya ingin menjadi Grand Master, sebuah gelar paling puncak di dunia pecaturan. Walaupun
“Bermain catur itu ibarat perang antar dua kerajaan. Butuh strategi untuk mengalahkannya. Aku ingin seperti Anatoly Karpov (pecatur Rusia) dan Utut Adianto,” ujar Farid. Walaupun suaranya kecil, tapi terdengar kalau ia sungguh-sungguh.

Ok Farid, kita doakan obsesimu tercapai. Agar Dunia tidak memandang sebelah mata akan Indonesia dan mudah-mudahan saat kau pensiun dari caturmu nanti, engkau tidak dilupakan begitu saja oleh Indonesia, seperti nasib atlet Indonesia lainnya. Amin.