Saturday, May 27, 2006

Pendidikan 'Gratis'


Kurang lebih sepuluh bulan lalu. Saat saya akan pergi meliput bersama dengan kawan di sebuah daerah yang cukup ramai penduduknya di Bandarlampung, ditengah jalan atau tepatnya di lampumerah bundaran walikota bandarlampung, saya dihampiri oleh anak kecil, umurnya berkisar tujuh tahunan. tiba-tiba saja menyodorkan mangkuk. "Mba belum makan mba...," katanya dengan muka yang penuh belas kasih.
saya rogoh kantung celana, seribu rupiah saya taruh kedalam mangkuk dan dua buah permen."Mau?" sambil saya menyodorkan permen kepada anak itu. diambilnya permen itu namun pandangan matanya tetap awas kepada saya. Kemudian ia berlari ketengah jalan raya bergabung dengan teman-teman se'propfesi'nya. kembali saya panggil, untuk kali ini saya mencoba bertanya nama dan asal tempat tinggalnya.
Anak itu mengaku bernama Samson, berasal dari Gudang Agen, sebuah daerah di teluk Bandarlampung. umurnya tujuh tahun, namun ia mengaku asik dengan pekerjaan sehari-harinya itu. Meminta-minta!
Saat ditanya sekolah, ia menggelengkan kepala. Katanya "Emak ngga punya duit!"
Bukan hanya Samson yang belum mengenyam bangku sekolah, tapi Yuli kakak kandung Samson yang satu profesi juga menggelengkan kepala saat ditanya tentang sekolah, bahkan Yuli yang berumur tiga belas tahun itu sudah mempunyai anak kecil. Sepertinya Zaki (anak yuli) juga akan berprofesi sama nantinya dengan Yuli.
***
Saat kecil bila teman orang tua kita datang, dan bertanya "Mau jadi apa kalo sudah besar?" jawaban seperti pilot, dokter, pramugari dan insinyur sering diucapkan oleh anak-anak, namun apa yang terjadi saat saya bertanya pada Samson dan Yuli. Jangan kan pertanyaan "Mau jadi apa kalo sudah besar?" pertanyaan "Mau makan apa besok?" saja tidak bisa mereka jawab.
Pemerintah mewajibkan pendidikan belajar sembilan tahun. Segala iming-iming pendidikan gratis, orang tua asuh dan lainnya. tapi semuanya itu belum sampai dan dirasakan oleh Samson serta kawan-kawan.
Bukan pendidikan gratis yang dibutuhkan, tapi sekolah gratis. Mulai dari bayar SPP, bayar baju, bayar bangunan, bayar buku dan bayar-bayar lainnya.
buat apa SPP gratis, kalo masih diminta bayar ini itu. bahkan ada siswa yang nekat bunuh diri lantaran malu ditagih terus-terusan oleh sekolah karena belum membayar praktek keterampilan dua ribu lima ratus rupiah.
lalu dimana letak wajib belajarnya?
Pemerintah sendiri kurang tegas kepada orang tua akan arti pentingnya pendidikan. saat ini, tidak ada orang tua yang kena sangsi bila anaknya tidak bersekolah.
***
Sebulan lalu, kembali saya melintasi lampu merah bundaran walikota. Rupa Samson tidak saya temukan, tapi Samson-Samson lainnya semakin bertambah. alamak....masa generasi muda terus menerus seperti ini. benar kata Pram, Indonesi memang butuh reformasi....

1 comment:

Rieke Pernamasari said...

gw sepakat kalo masalah pendidikan sebaiknya dipegang oleh pemerintah mulai dari hulu hingga hilir, dan menyerahkan semua proses pendidikan yang ada kepada masyarakat, dari kurikulum sampai metode nya. dan pemerintah hanya sebagai pengontrol saja.

sebagai contohnya saja, tante gw yang anak baru naik kelas 3 smp aja pusingnya bukan maen. dari ceritanya gw baru tahu kalo sekarang ini buku2 sekolah tahun sebelumnya tidak bisa lagi dipakai atau diturunkan ke adik2nya. trus seluruh anak wajib membeli buku paket tahunan yang kalo mau tahu harganya tuh mahal banget.

gw ngga bisa ngebayangin gimana kalo orang yang 'tidak mampu'. mungkin jangankan buat beli buku paket tahunan untuk makan sehari-hari saja mungkin susah.

gw pikir pemerintah mesti mengkancah lagi deh wajib belajar 9 tahun.
baru aja smp apalgi yang sekoilah menengah atau perguruan tinggi. biayanya pasti seabreg-abreg.
mana yang namanya sekolah kerakyatan. yang ada juga sekolah buat orang-orang kaya.

nb: bener tuh SD kita digusur, coz katanya sich buat asrama polisi. SD BK dipindahin kebelakang TK BK. btw tambah bagus lho :)