Saturday, July 01, 2006

Telepon Malam

Kriiing…..

Sudah kesekian kalinya handphone kecil ku berbunyi. Kulirik jam weker disamping tempat tidur. 02:12

Ahh…enggan aku mengangkatnya. Biasanya bunyi telepon pada jam-jam tidak wajar seperti itu hanyalah dari orang-orang yang iseng. Atau sekedar ingin telepon gratisan. Maklum, banyak orang yang rela begadangan hanya untuk menanti waktu off speak agar bisa menelepon murah atau bahkan gratisan.

Kriiing...

Kembali handphone ku berbunyi.

“Ya ampun, mau ampe jam berapa sih orang itu?”

Dengan nada menyerah akhirnya Hp itu aku angkat.

“Akhirnya kamu angkat juga”

Terdengar suara Andi diujung sana. Sudah ketebak. Walaupun nomor yang tertera di layar Hp tak kukenal tapi aku tau kalau itu dari dia.

Pria bermuka seluler. Bagaimana tidak, setiap ada produk GSM yang menawarkan iming-iming free talk atau telepon murah, langsung ia beli.

“Dasar tukang tidur. Baru jam segini udah molor”.

“Hah! Apa katamu?”

“Hehe…becanda neng. Sorry ya ganggu malam-malam begini”.

“Ini udah bukan malam lagi. Tapi dini hari tau!”

“Iya…iya…sorry deh ganggu dini hari kayak gini”.

“Dasar muka gratisan. Udah kan aku tutup ya”.

“Eh tunggu dulu. Bates gratisannya kan ampe subuh nanti”.

“Please… temenin aku ngobrol dong. Kalau bukan gratisan mana mungkin aku telepon kamu”.

“Ok…ok…alesannya masih seperti kemarin-kemarin. Laen kali yang bisa lebih masuk akal napa”.



Dengan mata setengah terpejam aku mendengarkan ia cerita. Banyak hal yang selalu ia ceritakan. Mulai dari teman, kuliah, kecengan wanitanya sampai ayah ibunya yang selalu tidak akur. Yang aku heran lagi, setiap hari ada saja cerita yang aneh-aneh.

“Kemarin siang aku mimpi dapet beasiswa keluar negeri lho. Mau tau ngga apa yang terjadi? Ayah ibu ku ngga jadi cerai”.

“Kamu mimpinya siang bolong sih. Jadi ngga nyambung gitu, apa hubungannya beasiswa dengan ayah ibu mu yang ngga jadi cerai?”

“Abisnya kalo malam aku sibuk nelepon. Jadi jatah tidurku baru ada kalo siang. Wajar dong kalo mimpinya siang bolong”.

Huh…lagi-lagi aku kalah.

Andi memang bisa kalo buat orang menyerah. Ia selalu berkata kalo ingin pergi keluar negeri. Dikampusnya sana Andi termasuk mahasiswa yang cukup pintar. Berbagai lomba ajang bertukaran pelajar selalu ia ikuti, namun dari kesekian kalinya itu tidak ada yang ia dapatkan.

Tapi bukan Andi namanya jika mudah menyerah. Minggu lalu ketika ditelepon, ia bercerita kalo ia baru saja membuat semacam karya tulis sebagai syarat untuk mendapat beasiswa belajar di Jepang.

“Kita liat saja nanti, aku pasti dapatkan beasiswa itu. Pengumumannya kan Senin besok”. Dengan semangat ia selalu bangga akan dirinya. Namun semangat pantang menyerahnya tidak dapat ia terapkan pada ayah ibunya. Sudah hampir enam bulan ayah ibunya pisah ranjang. Andi tinggal dengan ibunya. Ia selalu bercerita kalo ibu sering menangisi ayah. Ibunya selalu ingin mereka rujuk kembali dan membangun kembali keluarga mereka. Tapi sayang keinginan ibu Andi hanyalah harapan hampa baginya. Andi bercerita kalo dirinya hanya bisa memberikan semangat pada ibu. “Hari yang ibu nantikan itu pasti akan tiba”, Andi selalu berkata itu pada ibunya.

Andi adalah teman bermain, teman bertengkar dan teman tempat aku bercerita. Sejak duduk bangku sekolah dasar ia sudah menjadi sainganku. Namun walau begitu ia selalu memberiku support untuk maju.

Sejak kecil ia sudah sering dikirim menjadi duta sekolah, hanya saja cita-citanya untuk sekolah ke luar negeri tidak pernah kesampaian. Andi memang pintar, pikirku.

Memasuki sekolah menengah atas Andi mendapat nilai tertinggi di sekolahku, namun tiba-tiba saja ayah Andi dipindah kerjakan keluar kota di Jogya. Sekeluarga mereka pindah kesana, termasuk Andi juga ikut pindah sekolah.

Lagi-lagi Andi selalu menjadi yang terunggul, segala macam beasiswa ia ikuti hanya saja beasiswa untuk sekolah keluar negeri selalu gagal ia dapatkan.

***

Bunyi azan subuh mendengung dikejauhan. Itu berarti telah dua jam lebih Andi menelepon ku. Pantes telingaku panas.

“Duh waktunya udah mau habis. Kamu masih disitu kan Wi?”

“He eh”

“Eh abis ini kamu jangan tidur. Mending juga kamu ambil wudu”.

“Iya…iya…,” jawab ku malas. Kadang-kadang Andi juga membuat ku kesal dan menjengkelkan. Ceramahnya kadang terkesan sok tau, namun ku akui ia sudah menjadi Andi yang dewasa sekarang ini. Walaupun ia satu umur dengan ku, tapi aku selalu menganggapnya seperti kakaku sendiri.

“Udah dulu ya Wi. Besok lagi aku sambung”.

“Ngga usah! Makasih banyak!” sebelum ia sempat berkata salam, Hp ku matikan.

Besok malam Hp ngga akan aku aktifkan, biar cowo edan itu ngga bisa ganggu tidurku terus-terusan, pikirku.

Karena sebagian tidurku terganggu, akhirnya ku putuskan seharian untuk tidur sepulas-pulasnya. Mumpung weekend, pikirku.

Tak terasa seharian aku jadi putri tidur. Kembali ku lirik weker disamping tempat tidur. 02:12.

Hah serius nih, udah kayak mati suri aja, pikirku. Buru-buru aku ambil wudu untuk solat duhur.

Baru saja aku selesai solat, tiba-tiba Handphone kecilku berbunyi.

Kriiing...

Nomornya tidak ku kenal, tapi aku tau pasti kalo ini nomor yang biasa meneleponku pada jam-jam tidak wajar.

Mau apa lagi anak itu, tumben dia nelepon siang-siang.

Ada apa lagi? Masih kurang puas ya gangguin orang malem-malem, sekarang gantian ganggu siang-siang”.

“Ini Dewi ya?”

Lho kok suaranya beda, ini bukan suara Andi. Kalo Andi ngga mungkin bicara sesopan itu. Tapi ini kan nomor yang tadi malam Andi pakai untuk meneleponku.

“Iya betul. Ini sapa ya?”

“Saya Sondi temannya Andi. Kamu udah liat TV atau baca berita?”

“Lho emangnya kenapa?”

Betul juga, seharian aku jadi putri tidur mana mungkin aku sempat nonton TV atau baca Koran. Aneh juga orang ini, pikirku.

“Maap, aku baru aja bangun tidur. Jadi belum sempat liat TV atau baca berita. Memangnya kenapa?”

“Jadi kamu belum tahu kalau tadi pagi Jogya kena gempa. Gocangannya lumayan besar. Saat kejadian itu Andi sedang tertidur. Dan kamu jangan kaget ya Wi, Andi meninggal seketika. Ia tertimpa reruntuhan”.

“Hp dia aku temukan digenggamannya. Aku ngga tau mesti hubungin siapa lagi, nomor terakhir yang ada dipanggilannya hanya nomor kamu. Untung saja ibunya hanya luka ringan, ayahnya juga baik-baik saja. Sekarang mereka semua ada bersamaku di tenda pengungsian”.

Spontan tubuhku lemas. Aku tak kuasa lagi mendengar Sondi bercerita. Hp di tangan ini terlepas begitu saja. Andi meninggal!

“Wi…Wi…kamu masih disitu ngga?”

“Hallo…hallo…”

Tak kupedulikan suara Sondi yang memanggil-manggilku. Hingga akhirnya telepon itu berhenti berbunyi. Yang kupedulikan hanyalah Andi.

Bibir ini tidak lagi berucap, lidah pun seperti tak berasa. Tadi pagi adalah percakapan terakhirku dengannya. Kenapa mesti menjadi yang terakhir?. Terakhir kuingat Andi menantikan jawaban beasiswanya Senin besok. Terakhir kuingat Andi ingin sekolah keluar negeri. Terakhir kuingat Andi ingin ayah ibunya akur dan terakhir kuingat ia belum sempat mengucapkan salam padaku pagi tadi.

Ternyata mimpinya disiang bolong itu benar-benar nyata. Bencana itu membuat ayah ibu Andi menjadi akur, mungkin kini mereka menyesal. Namun bukan pergi ke luar negeri yang ia dapatkan tapi pergi jauh selama-lamanya. Kenapa mesti dia yang harus dikorbankan?

Mulai hari ini dan selamanya tidak akan lagi terdengar suara dia yang menjengkelkan itu. Walaupun menjengkelkan tapi aku merindukannya. Aku rindu dering Hp kecilku di malam hari. Aku rindu keisengannya. Aku rindu ceramah-ceramahnya yang sok tahu itu. Aku rindu semuanya. Aku rindu Andi...

U’ll never know till its gone

4 comments:

udin said...

ehmmm, it is the first time I visit this blog. The name of the owner seems to be familiar with me. K2?

Aku tak semula kalau ceritanya berakhir menyedihkan begitu. komik banget kan. yah tapi hidup ini kadang yang seperti itu bisa saja terjadi. kebetulan-kebetulan itu sering kita jumpai.

apa kau sempat merasa bersalah setelah mendengar kabar itu, salah karena mungkin tak memberikan yang terbaik untuk yang terakhir kalinya buat temanmu itu, kau malah mengatainya bocah GILA, kau juga sengaja tak mengaktifkan telepon genggammu, bahkan hingga kabar terakhir itu, dalam hati kecil kau masih sempat merutukinya, IH ngapain lagi anak ini.....

whatever, aku turut berduka cita atas meninggalnya temanmu itu.

Rieke Pernamasari said...

yup,aku memang sempet merutuki dan mengatai diri ini 'bego'. yang paling sesal, aku tidak memberinya salam.

ya...tapi siapa sih yang akan tahu.manusia kan hanya bisa berencana.andi sudah berencana ingin pergi sekoalh keluar negeri tapi Tuhan memanggilnya terlebih dahulu.

btw gimana kabarmu?Hpny ko ngga aktif?

udin said...

kabar baik. dalam waktu dekat insya Alloh aku akan menyelesaikan tugasku di hw. tinggal satu majalah, yg sebentar lagi akan terbit.
setelah itu mulai konsen skripsi.semester ini harus kelar. tahun depan wisuda.moga saja target ini bisa kutepati.
hpku memang tak bisa dihubungi. seminggu yang lalu, aku kehilangan barang-barang berharga, dompet dan seisinya. plus hp buntuttttttku... tidak dicuri apalagi dirampok, tapi tertinggal di atm di depan kampus undip. ya begitulah....
kamu juga udah mulai garap skripsi kan, kapan wisuda, jangan duluin aku ya, ntar kuwalat, he..........:)

Rieke Pernamasari said...

ok dech yang muda ngalah tapi yang tua jangan kelewatan dunk. mentang2 ngga mau diduluin selesainya dilama-lamain hehehe...;-) becanda dink...
nomor ku: 0818714115