Thursday, September 13, 2007

Ketika Anak Tak Kunjung Hadir

Sebagian besar pasangan menikah pasti mendambakan untuk memiliki anak. Banyak yang berhasil mewujudkan keinginan tersebut, namun ada juga sebagian pasangan yang tidak dapat mewujudkannya.

Anak merupakan pelengkap kebahagiaan bagi pasangan menikah. Saat berkumpul dalam acara keluarga, hal utama yang menjadi pertanyaan pastilah “kapan rencana punya momongan?” ”Sudah ‘isi’ belum?” dan lain-lain. Mungkin hal itu tidak menjadi persoalan bagi pasangan yang baru saja menikah, namun pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut bisa menjadi persoalan yang besar bagi mereka yang sudah lama menikah. Bahkan bagi yang mudah tersinggung, hal itu bisa menimbulkan amarah.

Pernikahan adalah pengukuhan hubungan dua individu, laki-laki dan perempuan dalam sebuah lembaga perkawinan yang sah. Salah satu tujuan umumnya adalah mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Hampir sebagian besar pasangan menginginkan buah hati. Buah hati di sini bukan saja sebagai penerus generasi dan perekat perkawinan tetapi juga sebagai langkah selanjutnya bagi pria dan wanita dalam mengisi tugas perkembangannya sebagai ayah dan ibu. Dengan berubahnya peran, individu akan mulai belajar bagaimana harus berperilaku.

Meski sebagian tujuan pernikahan adalah segera memiliki momongan, namun tidak sedikit pasangan yang sengaja menundanya. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa pasangan menikah menunda untuk memiliki momongan. Pertama, ketidaksiapan secara materi. Dalam hal ini, pasangan memiliki ketakutan bahwa pendapatan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan si buah hati. Kedua, ketidaksiapan secara psikologis. Alasan ini muncul karena adanya ketakutan tidak bisa menjadi ayah atau ibu yang baik. Ketiga, pasangan mendahulukan kepentingan lain. Misalnya, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, dan masih banyak alasan lainnya seperti salah satu pasangan sedang melakukan terapi pengobatan atau lainnya.
Sementara alasan sebuah pasangan menunda kehadiran buah hati seringkali didasarkan pada motivasi pada saat awal menikah. Misalnya, pasangan yang menikah karena ingin mempunyai keturunan, sehingga sang istri menjadi “mesin produksi anak”.

Namun ada juga pasangan yang menikah lebih karena ingin mempunyai teman. Selain itu, ada juga pasangan yang menunda kehadiran buah hati karena ingin mengenal lebih dalam pribadi pasangannya. Biasanya mereka menikah karena dijodohkan. Bahkan, untuk alasan yang terakhir, ada pasangan yang bersama lebih dari 10 tahun namun tidak pernah berhubungan. Pasangan tersebut tetap mempertahankan perkawinan, setia, dan akhirnya hubungan mereka menjadi seperti kakak beradik.

Penantian akan lahirnya buah hati bisa menjadi masalah di dalam rumah tangga. Terutama bila keduanya tidak bisa menerima keadaan dan salah satu pihak menimpakan kesalahan pada pasangannya. Biasanya dalam hal ini istri yang menjadi korban, padahal suatu pasangan tidak dikarunia anak bukan melulu dikarenakan masalah infertilitas tetapi juga masalah psikologi.

Ada yang depresi namun banyak juga dari mereka yang tidak juga dikarunia anak menerimanya dengan pasrah dan berpikir positif. Namun hal itu kembali lagi pada konsep pernikahan mereka, ada yang ingin cepat dapat momongan tetapi ada juga yang ingin menunda dengan berbagai alasan.

Timbul Masalah

Bila pasangan menikah setelah bertahun-tahun tidak dikaruniai anak, meskipun orang sekitar tidak berucap tapi secara tidak langsung sering mempertanyakan apa yang terjadi hingga pasangan itu tidak dikaruniai anak. Bahkan tak jarang hal itu menjadi perguncingan, seperti bagaimana masa tuanya bila tidak ada anak sampai urusan adopsi.

Jika diawal menikah konsep yang dipegang adalah memiliki momongan maka ketidakhadiran si buah hati ditengah-tengah keluarga tentu menjadi permasalahan yang besar. Belum lagi lingkungan sekitar yang mencap Anda atau pasangan Anda dengan ungkapan ‘mandul‘, tentunya hal itu sangat tidak nyaman. Dalam banyak kasus memang istri merasa lebih tertekan ketika setelah beberapa tahun mereka belum diberi keturunan karena dalam lingkungan atau masyarakat terbiasa mempersepsikan bahwa kesalahan ada dipihak istri. Bahkan ketika diketahui istri mempunyai masalah fertilitas, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak suami yang menginginkan untuk berpoligami atau bahkan ada juga istri yang merelakan suaminya untuk berpoligami. Tapi hal itu sangat kecil kemungkinannnya, karena pada dasarnya tidak ada seorang istri pun yang rela suaminya menikah lagi atau pun diduakan.

Ketidakhadiran buah hati ini bisa menimbulkan masalah ketika keduanya atau masing-masing pasangan tidak membuka pikiran untuk menerima keadaan dan mudah terpengaruh pada lingkungan sekitar. Ada yang tidak peduli namun ada juga sebagian pasangan lainnya yang terganggu dengan ketidadaan anak ini. Biasanya hal tersebut dikarenakan tidak adanya komunikasi dua arah di antara mereka.

Butuh Kedewasaan

Tidak semua pasangan mempermasalahkan belum adanya si buah hati ditengah-tengah mereka, meskipun bila dipersentasikan golongan seperti ini sangatlah kecil. Namun bagi pasangan yang belum memperoleh keturunan, dibutuhkan kedewasaan yang amat besar dari masing-masing pasangan, karena ketidakmampuan memliki keturunan bukan semata-mata kesalahan pasangannya (misalnya istri), apapun kondisinya sebaiknya setiap pasangan harus saling mendukung dan mencari sulusinya. Duduk bersama dan memikirkan bagaimana yang terbaik untuk keluarga harus dibicarakan diantara keduanya tanpa ada orang ketiga (orangtua, mertua, kakak, atau lainnya).

Oleh karena itu sebelum menikah setiap pasangan harus benar-benar mengenal pasangannya, mulai dari sifat baik dan jeleknya, kebiasaan-kebiasaan positif dan buruknya, cara dia mengambil keputusan sampai pola keluarga dari masing-masing pasangan. Hal tersebut perlu diketahui agar suatu saat kita tidak mempunyai pikiran menyesal dan saat timbul masalah maka hal-hal positif darinya lah yang perlu kita lihat. Karena setiap pasangan menikah harus berpikir untuk saling melengkapi bukan hanya memikirkan masalah anak yang tidak hadir.

Mereka yang mempunyai kedewasaan berpikir akan melihat bahwa anak hanyalah titipan Tuhan dan bukan milik kita sepenuhnya. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing dan tidak ada yang sempurna. Oleh karenanya ketika dalam berumah tangga anak tidak juga hadir jangan pernah berpikiran negatif terhadap pasangan kita, tetap yakinkan dalam hati kalau ia adalah jodoh kita.

Mencari Solusi

Mereka yang mengharapkan buah hati hadir ditengah-tengah keluarga sebaiknya tidak saling menyalahkan dan menuduh siapa yang kurang sehat, namun yang perlu dilakukan adalah duduk bersama dan membicarakan solusi yang tepat, apakah mereka sependapat untuk mengadopsi anak, bayi tabung, atau sepakat untuk tidak sama sekali melakukan keduanya.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan maka hal utama yang harus dilakukan adalah berpikir secara matang, jangan terburu-buru, sehingga salah satu dari mereka tidak sreg. Misalnya mengadopsi anak. Jangan sampai hanya diinginkan oleh satu dari mereka saja, karena bila hal itu terjadi maka yang kasihan adalah si anak itu sendiri yang tidak mendapat limpahan kasih sayang dan perawatan secara optimal.

Tidak jarang mereka yang mengadopsi anak membuat kondisi pasangan menjadi rileks. Kondisi santai dan bergembira adanya anggota baru dalam keluarga biasanya memberikan kondisi psikologis mereka juga menjadi lebih sehat. Namun mengadopsi anak adalah bukan satu-satunya pilihan bagi pasangan yang tidak mendapat keturunan. Semua itu tergantung pada keputusan.

Jika ketidakhadiran anak ini disebabkan oleh gangguan medis maka hal itu bisa disembuhkan dengan bantuan medis pula. Namun jangan mengadopsi anak bila hanya untuk memancing agar punya anak. Karena hal itu akan membuat si anak menjadi terlantar. Sebaiknya sebelum pasangan memutuskan untuk mengadopsi anak, tanyakan kembali pada diri masing-masing apakah betul dibutuhkan seseorang untuk hadir ditengah-tengah mereka? Karena banyak juga pasangan yang tidak menginginkan anak ditengah-tengah hubungan mereka, apalagi melihat biaya pendidikan yang mahal.

Jadi setiap keputusan untuk mengatasi masalah ini (ketidakhadiran anak, red) sebaiknya dipikirkan sangat matang. Ada pasangan yang berpikir kalau untuk membagikan kasih sayang tidak perlu kepada anak kandung saja tetapi juga kepada keponakan atau anak-anak dilingkungan sekitarnya.

Satu hal yang terpenting adalah belum adanya kehadiran buah hati sebaiknya tidak mengurang kadar kemesraan suami istri. Mereka bisa menjalankan aktifitas sehari-hari seperti biasanya dengan saling memberi motiavsi. Ekspresi kesedihan karena lama tidak mendapatkan anak, biasanya lebih terlihat pada istri. Suami, seharusnya mau mendengarkan setiap keluhan istri dan menghibur sang istri dalam mengisi hari-harinya agar tetap menyenangkan. Jangan menjadikan ketidakhadiran anak sebagai masalah besar dalam keluarga. Hal terpenting adalah bagaimana agar pasangan menjadikan kehidupan ini tetap bermakna tanpa mengurangi kadar sayang mereka masing-masing dan kasih sayang bisa diberikan kepada siapapun.

Tips bagi pasangan menikah:
1.Jangan terlalu cepat mengambil judgement terhadap salah satu pasangan yang kurang
sehat
2.Secara sadar, mereka berdua memeriksakan diri ke dokter guna penanganan yang lebih
baik
3.Saling mendukung bila memang salah satu ternyata dinyatakan kurang sehat.
4.Mencoba santai dan tidak terus menerus fokus pada masalah yang dialami agar tidak
membuang-buang energi.
5.Belajar untuk menjalin komunikasi yang tepat dengan pasangan, belajar mendengarkan
dan tidak egois.
6.Mengambil hikmah dan berpikir positif atas situasi yang dialami, serta mengingat
hal-hal yang positif pasangan kita serta tidak menggali hal-hal negatif pasangan
kita.
7.Tidak membandingkan pasangan kita dengan orang lain, tapi bandingkanlah pasangan
kita dengan dirinya sendiri.
8.Sering memuji pasangan dan belajar saling percaya serta tidak lupa untuk
mengucapkan terimakasih kepada pasangan kita.
9.Memvariasi hubungan, misalnya pergi ketempat-tempat Anda berpacaran dulu, agar
tetap romantis.
10.Jangan ada orang ketiga di dalam rumah tangga. Misalnya orangtua, keponakan atau
yang lainnya. Agar ketika terjadi konflik dengan pasangan, Anda berdua dapat
dengan cepat menyesuaikan diri. Bahkan sebaiknya pembantu pun tidak perlu ada.
Dengan membersihkan dan memasak berdua, Anda bisa membuat suasana romantis.

Monday, September 10, 2007

Berbagi Peran, Berbagi Beban

Pada sebagian kalangan masyarakat, berlaku anggapan bahwa istri bertugas melahirkan anak dan suami bertugas mencari nafkah. Namun bagaimanakah dengan keluarga yang belum memiliki anak, atau istri yang tidak dapat mempunyai anak, apakah ia tidak patut untuk dinafkahi? Lalu dimanakah peran suami?

Sebelum memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan, banyak orang yang cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Namun kondisi tersebut akan sulit dipertahankan ketika mereka mulai membangun rumah tangga. Ego masing-masing mau tidak mau harus berkurang, beberapa hal bahkan terpaksa dihilangkan. Setelah menikah, tenggang rasa dan sikap saling bantu amat dituntut pada setiap pasangan. Baik bagi mereka yang baru mendirikan rumah tangga, atau yang sudah lama menjalani kehidupan bersama.

Hubungan suami istri yang harmonis akan menjadi dasar pertumbuhan sebuah keluarga. Oleh karena itu sebaiknya sebelum menikah, konsep hubungan suami istri sudah dibicarakan dan disetujui bersama demi kepentingan bersama pula. Tak jarang kompromi untuk menyiasati perbedaan suami istri berupa pembagian peran dan tangggung jawab yang kaku. Namun peran yang kaku mengenai tugas dan peran istri dan suami, dapat membawa implikasi psikologi dan sosial yang sangat kompleks. Ketika role expectation dari masing-masing pihak tak terpenuhi, kondisi tersebut berpotensi menjadi pemicu masalah.

Pembagian peran antara suami istri semuanya berbalik pada perjanjian awal saat mereka menikah. Namun perlu ditekankan bahwa tugas utama untuk menghidupi keluarga ada pada suami. Istri bisa saja mengemban tugas itu, tetapi hal itu karena sesuatu hal yang di luar dugaan. Misalnya suami sudah tidak bisa bekerja atau karena masalah lainnya. Tapi meskipun istri bekerja, perlu disadari bahwa tugasnya hanyalah sebagai penopang atau penambah. Jadi kalau penghasilan istri lebih besar dari suami, si istri tidak boleh sombong karena manusia juga mempunyai mutual-respect. Bila suami sensitif tentu ia akan merasa minder.

Suami, mempunyai tugas untuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga, karena ia berperan sebagai kepala keluarga. Namun selain bertugas mengayomi, melindungi, dan berlaku lebih bijak terhadap istri dan anak-anaknya, suami juga dapat menjalankan pekerjaan yang biasa istri lakukan, yaitu mengurus pekerjaan rumah tangga. Begitu pula istri, selain bertanggungjawab terhadap pekerjaan rumah tangga ia juga berperan untuk selalu mendukung dan menolong suami ketika ia mengalami kesulitan, misalnya dalam mengambil keputusan. Istri dapat menjadi orang yang paling berpengaruh dalam setiap keputusan yang diambil suami.

Mengenai pembagian peran suami istri ini hubungan suami istri yang ideal berupa hubungan “partnership”. Hubungan kemitraan ini menurutnya paling ideal dalam era perubahan yang terjadi dewasa ini, dan berbagai tuntutan yang muncul. Namun penerapan hubungan tersebut juga harus secara fleksibel. Meski suami sebagai kepala keluarga merupakan final decision maker, bukan berarti ia tidak bisa menerapkan hubungan yang bersifat partnership. Setiap keputusan yang diambil harus demi kepentingan keluarga. Hubungan partnership akan lebih banyak berperan pada pembagian tugas dalam keluarga, seperti mendidik dan membimbing anak, mendelegasikan pekerjaan rumah tangga ke pembantu, dan lain-lain.

Apalagi bagi pasangan yang sama-sama bekerja. Selain menerapkan konsep hubungan kemitraan, seorang istri yang bekerja juga harus memiliki konsep manajemen rumah tangga yang baik. Dengan demikian kepentingan-kepentingan rumah tangga tidak boleh terabaikan, karena perhatian dan energi sang istri lebih didominasi oleh pekerjaan.

Tanggung Jawab

“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Menghadapi tuntutan hidup yang semakin besar saat ini, suami istri dituntut untuk melakukan tugas bersama-sama, apalagi bila keduanya bekerja. Suami tidak bisa sepenuhnya mengharapkan istri adalah orang yang satu-satunya bertanggungjawab terhadap anak. Namun pekerjaan apa yang harus dikerjakan, semua itu tergantung dari kesukaan dan minat masing-masing?

Misalnya ada suami yang tidak suka beres-beres tapi dia suka masak, maka saat libur dia bisa memasak dan istri yang beres-beres rumah. Begitu juga pada saat pembantu tidak ada. Suami istri sebaiknya menyadari bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama. Tanpa kesadaran tersebut, maka kedamaian di dalam rumah bisa sering terganggu. Bukan alasan lagi bagi suami istri untuk tidak saling membantu dalam urusan rumah tangga.
Jika salah satu dari pasangan tidak dapat menjalankan tugasnya (misalnya, mengecek PR anak) karena tuntutan pekerjaan, maka pasangan lainnya dapat menggantikan. Saling menggantikan tugas mendidik anak ini, merupakan bentuk tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, komunikasi antara suami dan istri menjadi sangat penting. Hal ini sangat mudah dilakukan mengingat ketersediaan fasilitas dan teknologi komunikasi yang kian maju.

Salah satu syarat dalam rumah tangga adalah mengembangkan relasi terbuka. Artinya keduanya harus membiasakan diri mengungkapkan apapun yang dirasakan dan diinginkan tanpa khawatir salah satu pihak merasa sakit hati. Saling menghargai bisa terwujud kalau komunikasi antar pasangan berjalan baik dan efektif. Istri menceritakan apa pun yang dilakukannya, suami juga melakukan hal yang sama. Komunikasi yang lancar biasanya membuat suami istri merasa saling membutuhkan.

Saat ini sudah tidak lagi berlaku pembagian tugas rumah tangga secara gender. Sudah bukan hal aneh lagi, bila suami melakukan sejumlah tugas rumah tangga seperti membeli makanan dan belanja ke supermarket. Demikian pula dalam hal mendidik anak. Mendidik anak harus dilakukan berdua, karena anak harus mendapat figure ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai pendampingnya. Sehingga peran suami istri lebih pada ‘spirit’, bahwa seorang Ibu lebih sebagai ‘direktur operasional’ di dalam keluarga, sedangkan Ayah sebagai ‘presiden direktur’ yang membawa seluruh keluarga kepada tujuan yang hendak dicapai dan sebagai pemegang keputusan final.

Selain tanggung jawab, hal utama yang perlu diterapkan oleh pasangan adalah komunikasi dan toleransi. Karena terkadang suami kurang mempunyai sifat sensitif, maka jika istri merasa tidak nyaman dengan beban pekerjaan rumah tangga yang diembannya, maka ia harus membicarakannya kepada suami.

Sebaliknya seorang istri yang ingin ”menegur” suami haruslah memilih waktu dan masa yang tepat, seperti ketika hendak tidur atau waktu istirahat pada petang hari. Pada saat-saat itulah suami biasanya berpikiran tenang dan terbuka. Istri juga perlu bersikap toleran dan menghargai keadaan suami. Bila suami tiba-tiba tidak bisa melakukan tugasnya, maka istrilah yang harus menggantikannya.

Dengan adanya pengaturan tugas masing-masing pasangan, maka tak sepantasnya lagi suami mengharapkan istri menjadi satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkaitan dengan anak. Mulai dari perhatian, pengajaran, makanan, hiburan, sampai dengan kebersihan rumah. Dengan menerapkan sikap toleransi di dalam rumah tangga maka permasalahan akibat saling menggantungkan terhadap pasangan tidak mungkin terjadi.

Misalnya, ketika sang istri harus menghadiri sebuah rapat penting sementara anak sendirian di rumah dan pembantu pulang kampung. Bila suami tidak memiliki pekerjaan yang mendesak, maka ia berkewajiban menggantikan tugas istri yakni menjaga si kecil bahkan mungkin termasuk memasak untuk anak. Bila suami sudah bersedia menolong istri, ucapan terima kasih perlu sentiasa diucapkan supaya si suami merasa dirinya dihargai.
Kerja Sama Antar Anggota

Pada dasarnya pembantu rumah tangga bukan pekerja yang bisa mengerjakan seluruh tugas rumah tangga. Sesuai sebutannya, ia hanya berfungsi sebagai “helper”, bukan pengganti fungsi orangtua bagi anak. Jangan sampai pembantu menjadi pemisah hubungan orang tua dan anak. Hal ini perlu ditanamkan kepada anak-anak, agar hubungan emosional tetap terjalin kepada orangtua sejak anak-anak masih kecil. Begitu juga dengan pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, sebaiknya tetap harus memprioritaskan komunikasi kepada anak. Berusaha semaksimal mungkin agar mereka dapat menjadi panutan anak-anak, sehingga anak-anak tidak mencari panutan di tempat lain.

Pembagian tugas di dalam rumah tangga tidak melulu dilakukan oleh suami istri. Mereka yang mempunyai anak cukup besar bisa melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah, namun cukup yang ringan-ringan saja. Anak-anak dapat diberi pengertian bahwa semua orang yang ada di dalam rumah dapat berperan, misalnya merapikan bekas mainannya atau tempat tidurnya.

Anak-anak perlu diberi batasan tugas dan tanggung jawab yang besar kecilnya disesuaikan dengan kematangan usianya. Dalam proses perkembangan anak, memberi contoh adalah cara yang paling efektif untuk mengharapkan anak melakukan sesuatu. Misalnya menerapkan konsep hidup sehat. Di sini orang tua dapat memberi contoh bagaimana mengatur keseimbangan hidup melalui makan yang sehat, cara hidup yang sehat, olah raga teratur, berpikir yang positif dan optimis, mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan untuk menghasilkan sesuatu yang besar, dan lain-lain. Tugas dan tanggung jawab kepada anak harus selalu diingatkan agar nilai tersebut dapat diinternalisasi pada masing-masing individu anak.
Melepas Ketergantungan Pembantu

Ada sebagian pasangan menikah ‘kelimpungan’ saat pembantu dirumah pulang kampung atau mendadak ijin karena sakit. Tiba-tiba saja rumah Anda menjadi ”porak poranda” karena tidak terurus. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika anggota keluarga sudah terbiasa berbagai tugas melakukan pekerjaan rumah.

Rosdiana menambahkan bahwa pemilik rumah dengan pembantu memiliki hubungan mutualisme, dimana pembantu mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan si pemilik mendapatkan hasilnya. Namun keadaan ini tidak terlalu baik jika sepenuhnya pekerjaan diserahkan kepada pembantu. Jika memang pembantu perlu ada didalam rumah, maka ia hanya cukup melakukan pekerjaan rumah saja, sedangkan pekerjaan mengasuh anak tetap dilakukan oleh suami istri. Sebagai orangtua, kita tetap mempunyai tugas untuk mengurus anak. Belanja bulanan, mengatur menu, pekerjaan sekolah (PR) anak-anak, dan lain-lain juga dapat dilakukan oleh orangtua. Hal itulah yang bisa dibagi dengan anggota keluarga lainnya.

Begitu pula ketika menghadapi Hari Raya. Pembantu yang mudik atau pulang kampung tidak perlu meresahkan atau malah menjadi beban yang amat berat bagi pasangan menikah. Hal ini justru menjadi ajang bagi suami istri untuk menjalin hubungan menjadi lebih erat lagi. Misalnya mencuci mobil bersama-sama, memasak bersama, membereskan rumah dan lain sebagainya. Dengan membagi tugas antara pasangan, pekerjaan apa saja yang harus dilakukannya justru akan menambah keharmonisan di dalam keluarga.

Tips bagi pasangan dalam berbagi tugas
1.Kompromi dengan melakukan komunikasi terbuka dengan pasangan, pekerjaan dan tugas
rumah tangga apa yang harus dilakukan masing-masing.
2.Dalam membagi tugas atau pekerjaan tersebut, sebaiknya disesuaikan dengan minat dan
kesukaan pasangan masing-masing.
3.Jangan memaksakan pasangan kita untuk melakukan pekerjaan yang tidak disukainya.
4.Jangan menganggap pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang amat berat.
5.Kurangi standar hasil pekerjaan. Misalnya ketika ada pembantu lantai bersih
kinclong, maka bila pembantu tidak ada bersih saja pun cukuplah. Menu masakan yang
biasanya lima macam dalam satu hari jika dimasak pembantu, ketika harus masak
sendiri bisa dikurangi menjadi tiga macam menu saja.
6.Selain suami, libatkan juga anak-anak agar keharmonisan dalam keluarga bisa lebih
terjalin.
7.Jangan terlalu mengharapkan hasil yang sempurna dengan hasil pekerjaan yang
dilakukan oleh suami. Bagaimanapun juga diperlukan proses dalam melakukan semuanya
itu.
8.Jika suami enggan membantu menguruskan rumah tangga, isteri haruslah bijak untuk
memainkan peranan dengan menegur sikap suami dengan cara baik dan lembut. Pilih
waktu dan saat yang tepat.
9.Ucapkan terima kasih kepada pasangan Anda seusai ia melakukan tugasnya. Agar ia
merasa dihargai.
10.Kesetaraan dalam melakukan tugas rumah tangga bisa berhasil apabila pasangan
saling menghargai. Misalnya, suami bangga dan mendukung karier istri di luar
rumah. Sebaliknya, istri pun menghargai keterlibatan suami dalam mengelola tugas
rumah tangga.